Masa Lalu itu untuk di kenang bukan di binasakan. Sekalipun itu memalukan, menyesatkan karna seburuk-buruknya masa lalu, kita gak bisa pungkiri mereka adalah bagian sejarah dalam hidup kita. Bahwa kita pernah mengalami jatuh bangun, sejarah mencatat semuanya dan membungkus dalam kotak bernama memori. Tempatkan mereka di hati sebagai reminder kita dalam melangkah kedepan. Yang baik jadikanlah kenangan indah, yang buruk jadikanlah pelajaran berharga. Seorang teman bicara, "Del, gue mampir ke blog lo dan tanpa sengaja keasikan baca yang lama-lama. Kenapa gak dihapus aja?. Lo gak takut kalau kebaca temen-temen baru?" Hmmmm masa lalu kan bukan tato yang ketika berhijrah kita harus hapus itu tato. Lagian selama kenangan-kenangan pahit bukan lah aib, selama itu juga aku tidak merasa terganggu bila di publish. Perihal teman baru, biarlah...... Aku tidak perduli dengan penilaian orang. Karena aku hidup bukan sekedar untuk membuat orang lain terkesan. Dengan membagi kis
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA
PANCASILA DALAM PERSPEKTIF HISTORIS
Era BPUPKI & PPKI:
Pertentangan
Ideologi Nasionalis vs Islam
Kekalahan tentara Belanda 1942 kepada tentara
Jepang di Kalijati merupakan awal berkahirnya penjajahan Belanda di Indonesia.
Kemenangan Jepang tersebut –semula- disambut gembira oleh rakyat Indonesia yang
sejak awal tidak mempunyai harapan merdeka di bahwa penjajahan Belanda. Harapan
mereka, Jepang sebagai sesama bangsa Asia akan memberi kemerdekaan kepada
bangsa Indonesia dalam waktu dekat[1].
Strategi Jepang untuk menjajah Indonesia memang
cukup bagus, yaitu dengan membolehkan rakyat Indonesia mengibarkan bendera
merah putih, menyanyikan lagi Indonesia Raya, dan untuk mengganti untuk
sementara tenaga administratifnya yang ditenggelamkan Sekutu, pegawai pangreh
praja Indonesia dinaikkan pangkatnya meskipun diturunkan gajinya. Tentara
Jepang menyebut dirinya sebagai saudara tua bangsa Indonesia[2]. Dengan sangat
strategis, tentara Jepang juga merekrut intelektual Indonesia dengan memberinya
wadah Komisi Penyelidik Adat Istiadat dan Tata Negara tanggal 8 November 1942
yang bersama-sama 13 orang Jepang mendiskusikan idea-idea mereka tentang
nilai-nilai budaya bangsa Indonesia baik untuk kepentingan Jepang maupun untuk
kepentingan Indonesia merdeka yang mereka cita-citakan[3]. Bahkan setelah
kegagalan Tiga A (Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia dan Nippon Pemimpin
Asia, maka didirikanlah Pusat Tenaga Rakyat (Putera) yang diketuai oleh empat
serangkai, Sukarno, Hatta, Ki Hadjar Dewantara dan Mas Mansur, yang mendapat
sambutan hangat dari rakyat. Setelah itu dibentuklah berbagai organisasi massa
seperti Seinendan (Barisan Pemuda), Keibodan (Barisan Pembantu Polisi), Heiho yang terkenal dengan PETA yang
diprakarsai Gatot Mangkupraja. Semuanya adalah strategi Jepang untuk
‘melunakkan’ hati rakyat Indonesia agar mau membantu Jepang melawan Sekutu.
‘Kekalahan’ Jepang secara beruntun dalam perang
(PD II) melawan sekutu ‘memaksa’ pemimpin administrasi militer di Indonesia
yaitu Hayashi menganjurkan kepada Pemerintah Jepang memberi janji kemerdekaan
kepada bangsa Indonesia, sebab berdasarkan pengamatannya kesengsaraan bangsa
Indonesia di bawah pemerintah Tentara Pendudukan sudah tidak tertahankan lagi.
Maka kalau Jepang secara eksplisit tidak memberikan janjir kemerdekaan itu
kepada pemimpin-peminpin Indonesia tentu mereka akan berbalik melawan Jepang.
Kalau itu terjadi, maka keadaan Jepang tentu tidak dapat diselamatkan lagi.
Saran ini kemudian diterima oleh Pemerintah Jepang dibawah Perdana Menteri Koiso.
Maka tanggal 7 September 1944, Koiso mengumumkan ke seluruh dunia di muka
sidang ke-85 Parlemen Jepang bahwa Indonesia akan diberi kemerdekaan dalam
waktu dekat[4].
Pemberian
kemerdekaan dan bayangan kekalahan Jepang tersebut akhirnya ‘memaksa, mereka untuk
mengumumkan pembentukan Dokuritsu Zyumbi
Tyoosakai yang disebut kemudian sebagai Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), pada tanggal 1 Maret 1945. Pengangkatan 29
April 1945, Dr. KRT. Rajiman Wedyodiningrat diangkat ketua (kaityo), bukan Soekarno, yang pada waktu
itu dianggap sebagai pemimpin nasional yang utama. Pengangkatan tersebut
disetujui oleh Soekarno, alasannya, sebagai anggota biasa akan lebih mempunyai
banyak kesempatan untuk aktif dalam diskusi-diskusi.
Sidang pleno
BPUPKI pertama diadakan dari tanggal 28 Mei sampai dengan tanggal 1 Juni 1945.
Tanggal 28 Mei sidang dibuka dengan sambutan Saiko Syikikan, Gunseikan, yang
menasehati BPUPKI agar mengadakan penelitian yang cermat terhadap dasar-dasar
yang akan digunakan sebagai landasan negara Indonesia merdeka sebagai suatu
mata rantai dalam lingkungan kemakmuran bersama di Asia Timur Raya[5].
Dalam pidato pembukaannya, dr. Rajiman
antara lain mengajukan pertanyaan kepada anggota sidang: “Apa dasar Negara Indonesia yang akan kita bentuk ini ?’. Pertanyaan ini menjadi persoalan yang paling
dominan sepanjang 29 Mei- 1 Juni 1945. Bahkan dalam rentang waktu tersebut
hadir sejumlah pembicara yang mengajukan sejumlah gagasan mengenai dasar
filosofis atas negara Indonesia yang hendak dibentuknya. Mereka misalnya
Soekarno, Moh. Yamin dan Supomo[6] yang secara
argumentatif mengemukan pendapatnya tentang dasar negara tersebut, yang pada
akhirnya secara ekplisit tanggal 1 Juni 1945, Soekarno mengemukakan pidatonya
yang memberikan jawaban yang berisikan uraian tentang lima sila. Pidato
kemudian diterbitkan dengan nama ‘Lahirnya Pancasila’. Menurut Mohamad Hatta[7], pidato Soekarno itu
dikatakan sebagai yang bersifat kompromois, dapat meneduhkan pertentangan yang
mulai tajam antara pendapat yang mempertahankan Negara Islam dan mereka yang
menghendaki dasar negara sekuler, bebas dari corak agama.
Awal munculnya Pancasila disadari adalah
bagian yang tidak terelakkan dari sejumlah pergulatan dan perdebatan founding fathers tatkala berbicara mengenai
dasar negara. Harus diakui terdapat berbagai kesulitan dalam mempertemukan
posisi-posisi ideologis anggota BPUPKI. Yang mengedepan di antaranya adalah
posisi-posisi dari mereka yang menjadikan Islam sebagai dasar negara, mereka
yang mencoba menegakkan suatu demokrasi konstitusional yang sekuler, dan mereka
yang menganjurkan negara yang disebut sebagai negara integralistik. Perdebatan
yang paling serius, emosional dan cenderung konfrontasional antara para anggota
adalah usul agar Islam dijadikan sebagai dasar
negara. Perdebatan tersebut memang pada akhirnya dimenangkan oleh kelompok
yang menginginkan Islam sebagai dasar negara, terbukti dengan ditetapkannya Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 yang
merupakan suatu modus atau persetujuan antara pihak Islam dan pihak kebangsaan.
Dalam perkembangan selanjutnya, ternyata
rumusan dalam Piagam Jakarta yang mencantumkan kalimat,’.........dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya’, setelah Proklamasi Kemerdekaan yaitu pada tanggal 18
Agustus 1945, tidak diterbitkan sebagaimana draf awal. UUD yang akhirnya
diterbitkan tidak berisi konsesi-konsesi kepada posisi Islam sebagaimana
dipaparkan dalam Piagam Jakarta. Juga tidak ada keharusan bahwa Presiden harus
Islam. Mohammad Hatta dianggap berperan dalam penghapusan ketujuh kata
tersebut. Ia berhasil membujuk komisis penulis UUD untuk menghilangkan acuan
kepada Islam dalam draf akhir Pembukaan UUD. Hatta khawatir bahwa Indonesia
timur yang mayoritas Kristen tidak akan bergabung dengan Republik kesatuan bila
negara baru ini dirasakan mendukung Islam an
sich, walau secara tidak langsung sebagai dasarnya[8].
Pencoretan tujuh kata inilah yang
menimbulkan kekecewaan umat Islam terhadap pemerintahan Sukarno dan Mohammad
Hatta, yang pada akhirnya menjadikan problem ideologis ini menimpa pula masa
pemerintahan Suharto. Pergulatan awal
inilah yang menjadi problem pertentangan pilihan ideologi yang menjadi sumber
‘ancaman’ bagi republik Indonesia. Dalam perkembangan lebih lanjut, kondisi ini
ternyata tidak bisa diakhiri secara elegan, bahkan semakin lama menyimpan
sejumlah persoalan yang berakhir dengan ketegangan-ketegangan ideologi, dari
sejak awal negara Indonesia dibentuk sampai sekarang ini. Benar bila Carol
Gluck[9] mengatakan bahwa
Indonesia adalah sebuah negara yang ‘terlalu
banyak meributkan masalah ideologi dibanding negara-negara lain’. Bahkan
akhir-akhir ini utamanya tahun 1999 sejak reformasi digulirkan, ide untuk
memunculkan kembali Piagam Jakarta semakin mengedepan dalam konstelasi
perpolitikan nasional. Kalangan Islam, utamanya partai politik yang berasaskan
Islam, menjadi pilar utama bagi keinginan untuk menghidupkan kembali Piagam
Jakarta.
Dengan demikian melihat pada
perkembangan perumusan Pancasila sejak tanggal 1 Juni sampai 18 Agustus 1945,
maka dapat diketahui bahwa Pancasila mengalami perkembangan fungsi. Pada
tanggal 1 dan 22 Juni, Pancasila yang dirumuskan oleh Paniyia Sembilan dan
kemudian disepakati oleh sidang Pleno BPUPKI merupakan modus kompromi antara
kelompok yang memperjuangkan dasar negara nasionalisme dan kelompok yang
memperjuangkan dasar negara Islam. Akan tetapi pada tanggal 18 Agustus,
Pancasila yang dirumuskan kembali oleh PPKI berkembang menjadi modus kompromi
antara kaum nasionalis, Islam dan Kristen-Katolik dalam hidup bernegara. Di
atas Pancasila yang merupakan modus kompromi itu UUD dirumuskan, dan
selanjutnya UUD itu menjadi dasar untuk mendirikan Pemerintahan Republik
Indonesia[10].
Era Orde
Lama :
Dinamika Perdebatan
Ideologis
Dinamika perdebatan
ideologi antara kelompok Islam dengan Pancasila adalah wajah dominan
perpolitikan nasional dari tahun 1945-1965. Bahkan pertikaian itu dilanjutkan
pada masa Orde Baru sampai Orde Reformasi ini. Pada dasarnya hal ini
dilatarbelakangi oleh kekecewaan kalangan Islam atas penghapusan Piagam Jakarta
dari Pembukaan UUD 1945, apalagi ketika penguasa (negara) menggunakan Pancasila
sebagai alat untuk menekan kalangan Islam tersebut.
Hal ini tampak ketika akhir tahun
1950-an, Pancasila sudah tidak lagi merupakan kompromi atau titik pertemuan
bagi semua ideologi sebagaimana yang dimaksud Sukarno[11]. Ini karena Pancasila
telah dimanfaatkan sebagai senjata ideologis untuk mendelegitimasi tuntutan
Islam bagi pengakuan negara atas Islam. Bahkan secara terang-terangan Sukarno
tahun 1953 mengungkapkan kekhawatirannya tentang implikasi-implikasi negatif
terhadap kesatuan nasional jika orang-orang Islam Indonesia masih memaksakan
tuntutan mereka untuk sebuah negara Islam, atau untuk pasal-pasal
konstitusional atau legal, yang akan merupakan pengakuan formal atas Islam oleh
negara[12].
Kekhawatiran Sukarno memang beralasan,
apalagi ketika rentang tahun 1948 dan tahun 1962 terjadi pemberontakan Darul
Islam melawan pemerintah pusat. Serangan pemberontakan bersenjata yang
berideologi Islam di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh meski akhirnya
dapat ditumpas oleh Tentara Nasional Indonesia, tetap saja menjadi bukti
kongkret dari ‘ancaman Islam’[13]. Bahkan atas desakan
AH. Nasution, kepala staf AD, tahun 1959, Sukarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli
1959 untuk kembali kepada UUD 1945 dan menjadikannya sebagai satu-satunya
konstitusi legal Republik Indonesia. Perdebatan persoalan ideologi tahun-tahun
1959-an dianggap telah menyita energi, sementara masalah lain belum dapat
diselesaikan. Apalagi periode 1959 sampai peristiwa 30 September 1965 merupakan
masa paling membingungkan pemerintah, dengan munculnya kekuatan PKI yang
berusaha menggulingkan pemerintahan.
Era ini disebut sebagai Demokrasi
terpimpin, sebuah periode paling labil dalam struktur politik yang justru diciptakan
oleh Sukarno. Pada era ini juga Sukarno membubarkan partai Islam terbesar,
Masyumi, karena dituduh terlibat dalam pemberontakan regional berideologi
Islam. Dalam periode Demokrasi Terpimpin ini, Sukarno juga mencoba membatasi
kekuasaan semua partai politik, bahkan pertengahan 1950-an, Sukarno mengusulkan
agar rakyat menolak partai-partai politik karena mereka menentang konsep
musyawarah dan mufakat yang terkandung dalam Pancasila[14]. Dalam rangka
menyeimbangkan secara ideologis kekuatan-kekuatan Islam, nasionalisme dan
komunisme, Sukarno bukan saja menganjurkan Pancasila melainkan juga sebuah
konsep yang dikenal sebagai NASAKOM, yang berarti persatuan antara
nasionalisme, agama dan komunisme. Kepentingan-kepentingan politis dan
ideologis yang saling berlawanan antara PKI, militer dan Sukarno serta agama
(Islam) menimbulkan struktur politik yang sangat labil pada awal tahun 1960-an,
sampai akhirnya melahirkan Gerakan 30 S/PKI yang berakhir pada runtuhnya
kekuasaan Orde Lama.
Era Orde Baru (1965-1985):
Awal dari Sebuah
Legitimasi Kekuasaan
Peristiwa percobaan kudeta 30 September 1965 yang melibatkan Partai Komunis Indonesia telah membawa perubahan besar dalam sejarah politik Indonesia. Peristiwa penumpasan terhadap G 30 S/PKI dibawah komando Letjen Soeharto memberikan legitimasi politik atas ‘kesaktian’ Pancasila tanggal 1 Oktober 1965, sebagai momentum betapa PKI tidak berhasil dan tidak pernah didukung oleh TNI dan rakyat untuk menggantikan ideologi negara (Pancasila) dengan ideologi komunis. Tampilnya Pangkostrad Lentjen Soeharto dalam penumpasan pemberontakan G 30 S/PKI tersebut adalah sejarah baru bagi terjadinya peralihan kekuasaan dari Sukarno (Orde Lama) ke Suharto (Orde Baru).
Pada awal kekuasaannya, Soeharto berusaha meyakinkan bahwa rezim baru ini adalah pewaris sah dan konstitusional dari presiden pertama. Dari khasanah ideologis Sukarno, pemerintah baru ini mengambil Pancasila sebagai satu-satunya dasar negara dan karena itu merupakan resep yang paling tepat untuk melegitimasi kekuasaannya[15]. Penamaan Orde Baru dimaklumkan sebagai keinginan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat atas munculnya keadaan baru yang lebih baik daripada keadaan lama. Reorientasi ekonomi, politik dan hubungan internasional ditambah stabilitas nasional adalah langkah awal yang ditegakkan oleh Orde Baru.
Kekuasaan awal Orde Baru sanggup memberikan doktrin baru kepada masyarakat bahwa setiap bentuk kudeta atas pemerintahan yang sah dengan mencoba mengganti ideologi Pancasila adalah salah dan harus ditumpas sampai ke akar-akarnya. Tampaknya ‘propaganda’ itu berhasil, sehingga tampak jelas ketika rentang Oktober 1965 sampai awal 1966, terjadi peristiwa kekerasan massal yang luar biasa dasyatnya, yaitu ‘pembantaian’ orang-orang yang dicurigai berafiliasi terhadap komunis.
Instabilitas nasional di bawah Demokrasi Terpimpin serta percobaan kudeta tersebut meyakinkan banyak pihak, bukan saja pihak militer, akan pentingnya men’depolitisasi’ masyarakat. Koalisi Orde Baru, yang terdiri dari militer (sebagai kekuatan dominan), kelompok pemuda-pelajar, Muslim, intelektual, demokrat, dsb, berhasil memberi dukungan yang diperlukan untuk menggulingkan Sukarno dalam bulan Maret 1966[16]. Mulai saat itulah, Orde Baru menancapkan pengaruhnya dengan menfokuskan pada Pancasila dan meletakkannya sebagai pilar ideologi rezim. Pancasila –kemudian- menjadi suatu pembenaran ideologis untuk kelompok yang berkuasa, tidak lagi hanya merupakan suatu platform bersama di mana semua ideologi bisa dipertemukan. Pancasila menjadi semakin diresmikan sebagai ideologi negara, di luar realitas Pancasila tidak sah digunakan sebagai ideologi negara. Tampaknya keinginan awal itu berhasil menguatkan kekuasaan Orde Baru dan memberikan jaminan stabilitas nasional yang mantap daripada Orde Lama.
Bagi Orde Baru, berbagai bentuk perdebatan mengenai ideologi negara, utamanya antara kelompok Islam versus nasionalis, ternyata tidak semakin membuat stabilitas nasional berjalan dengan baik, tetapi justru struktur politik labil yang lebih mengedepan. Belajar dari tragedi sejarah Orde Lama yang ‘agak’ serba permisif dalam memberikan ‘ruang’ bagi tumbuhnya ideologi lain, justru berkakbat fatal bagi berlangsungnya stabilitas kekuasaan tersebut.
Itulah sebabnya, Suharto beserta tokoh penting Orde Baru seperti Adam Malik, menggambarkan betapa pentingnya Pancasila bagi Orde Baru. Pancasila kemudian menjadi kekuatan paling efektif untuk meminimalisasi kemungkinan munculnya kekuatan di luar negara. Tampaknya di awal kekuasaannya, Orde Baru berhasil menyelesaikan masalah legitimasi ideologisnya. Akhirnya tahun 1966 dan 1967, dasar-dasar negara suatu pemerintah yang dilegitimasi oleh ideologi Pancasila mulai diletakkan. Menjelang pertengahan 1966, MPRS[17] telah berhasil membersihkan dirinya dari semua pendukung Sukarno. Sehingga, lembaga ini semakin memperoleh legalisasi untuk mengesahkan pengambilalihan kekuasaan oleh Letjend Soeharto, tanggal 5 Juli 1966 serta berhasil menjelaskan ‘penyelewengan-penyelewengan’ dalam pelaksanaan Pancasila dan Konstitusi yang telah terjadi selama Orde Lama di bawah Sukarno.
Ditetapkannya Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 yang menyatakan bahwa Orde Baru yang dipimpin oleh Letjen Soeharto didasarkan pada UUD dan Pancasila dan akan melaksanakan tujuan-tujuan Revolusi. Ketetapan ini dengan tegas mengakui keabsahan, legalitas,dan semangat revolusioner UUD dan Pancasila. Dan yang lebih penting lagi adalah MPRS mengatakan bahwa sumber tertinggi hukum nasional adalah ‘semangat’ Pancasila yang diakui MPRS merupakan cerminan dari karakter nasional serta Pembukaan UUD yang di dalamnya asas-asas Pancasila ditegaskan, itu lebih tinggi daripada Batang Tubuh UUD 1945[18].
Pada ulang tahun kedua puluh ‘Lahirnya Pancasila’ tahun 1967, Persiden Soeharto dan Adam Malik mengucapkan pidato-pidato yang menegaskan pendasaran legitimasi Orde Baru kepada Pancasila. Pancasila dianggap melegitimasi Orde Baru, membenarkan penurunan Sukarno, mendelegitimasi Islam (sebagai kekuatan politik) dan komunisme, serta menjanjikan masa depan yang lebih baik bagi semua rakyat Indonesia melalui peningkatan kemakmuran nasional. Kedua tokoh sentral Orde Baru tersebut menolak demokrasi liberal, yang pernah dijalankan oleh Orde Lama dengan UUD 1950-nya, karena dianggap sebagai ‘penyelewengan’ dari tujuan asli Pancasila. Menurut Orde Baru, Sukarno benar, ketika dia menolak sistem demokrasi parlementer dan membubarkan Konstituante serta menerapkan Demokrasi Terpimpin. Dosa terbesar Sukarno terhadap Pancasila adalah karena ia memberi dorongan kepada PKI, yang jelas anti-Pancasila, karena komunisme tidak sesuai dengan asas pertama, kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pernyataan tegas dan sering diulang-ulang oleh kekuasaan Suharto adalah ‘perjuangan dan keyakinan Orde Baru hanyalah untuk melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen ?’[19]. Pernyataan ini jelas menunjukkan bahwa tidak boleh ada penafsiran resmi tentang Pancasila kecuali dari pemerintah yang berkuasa.
Pada kekuasaan Orde Baru inilah Pancasila benar-benar menjadi kekuatan ideologis paling efektif dalam usahanya menancapkan ‘kuku’ kekuasaannya. Orde Baru menjadi kekuatan yang membela secara jelas Pancasila sebagai ideologi, sehingga setiap ancaman besar terhadap bangsa (kekuasaan), merupakan ancaman erhadap Pancasila, dan buktinya semua bentuk pemberontakan dapat dihancurkan. Adam Malik menunjuk pada Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 sebagai bukti bahwa Pancasila memang merupakan suatu sumber hukum legal dan ‘moral’, otoritas, dan legitimasi yang tertinggi di Indonesia. Pancasila –dengan demikian- tidak bisa dilaksanakan bila terdapat unsur-unsur dalam bangsa yang tidak sesuai dengan ‘kepribadian nasional, misalnya ‘ideologi asing’ yang menganjurkan diadakannya partai-partai politik oposisi, seperti di Barat.
Realitas ini menjadi suatu bukti betapa dalam perkembangan politik nasional era Orde Baru sangat sulit diperoleh kekuatan di luar negara yang berani kritis atas negara. Disamping hanya akan diberangus sampai ke akar-akarnya, gerakan oposisi justru hanya akan menambah kekacauan dalam masyarakat. Dalam keadaan tertentu, realitas munculnya oposisi tidak sesuai dengan Pancasila. Itulah bukti betapa Orde Baru seolah tidak bisa dilepaskan dari Pancasila, karena bagaimanapun Pancasila adalah titik tolak dari rezim ini. Dengan sebuah argumentasi menarik, Adam Malik mengatakan bahwa karena itu Orde Baru memiliki suatu ‘keyakinan yang dalam untuk mengabdi kepada rakyat dan mengabdi kepada kepentingan nasional didasarkan pada falsafah Pancasila’.
Demikianlah
awal dimana kekuasaan Orde Baru telah berhasil meyakinkan masyarakat tentang
konsistensinya dalam mempertahankan Pancasila sebagai ideologi negara. Bahkan
sanggup pula menggunakan Pancasila sebagai alat untuk memberikan legitimasi
atas kekuasaan, untuk semakin kokoh, tanpa terusik oleh kekuatan-kekuatan lain
yang merongrongnya. Orde Baru menjadi identik dengan Pancasila, sehingga setiap
usaha mengkritisinya ‘dicurigai’ sebagai usaha untuk mengubah ideologi negara,
dan itu harus ditumpas habis, tidak saja oleh aparatur negara represif
–meminjam istilah Althuser[20]- seperti presiden,
menteri, ABRI dan lembaga kehakiman, tetapi juga oleh aparatur negara
ideologis, seperti lembaga keagamaan, pendidikan, media massa, dan sebagainya.
Douglas E.
Ramage[21] mengatakan bahwa
meskipun penggabungan partai-partai yang ‘dipaksakan’ pada tahun 1973 merupakan
contoh jelas dari ketergantungan pemerintah kepada ideologi nasional untuk
menciptakan demokrasi Pancasila dan melegitimasi tindakan-tindakannya, tetapi
baru pada tahun 1978 pemerintah Orde Baru melakukan ofensif ideologi yang
dimaksudkan untuk menetapkan lebih lanjut parameter-parameter dan
kendali-kendali atas wacana politik di Indonesia. Puncaknya pada tanggal 22
Maret 1978, MPR mengesahkan sebuah ketetapan tentang ‘Pedoman Penghayatan dan
Pengalaman Pancasila (P4)’. Ketetapan ini menjadi sangat penting karena dikaitkan
dengan pedoman MPR untuk rencana pembangunan lima tahun. Dengan P4 ini
dimulailah program indoktrinasi Pancasila secara nasional melalui
program-program pendidikan ideologi yang dilaksanakan secara ketat[22].
Selama pembahasan-pembahasan di MPR
tahun 1978 mengenai rancangan ketetatapan P4, faksi NU dalam PPP melakukan
protes dengan walk out dari Majelis.
Menurut Sidney Jones[23], pada saat itu NU
adalah organisasi massa (Islam) terakhir di negara Indonesia yang masih
memiliki aspirasi-aspirasi politik dan karena ini ‘dicurigai’ oleh rezim karena
pada tahun 1971 menolak untuk mematuhi pedoman-pedoman Orde Baru tentang
perilaku politik dan kemudian tahun 1981, NU menolak mendukung Soeharto untuk
masa jabatan ketiga atau memberinya gelar ‘Bapak Pembangunan’ Dengan perkataan
lain, NU masih bertindak seakan-akan sebuah partai yang independen. Perilaku
seperti ini membuat NU menjadi sasaran tuduhan ‘anti-Pancasila’ oleh rezim,
sebagaimana dalam sebuah pidato Presiden Soeharto tahun 1980 ketika dia
menyerang walk out-nya NU dengan
tuduhan seperti itu.
Semenjak itu, Presiden Orde Baru mulai
secara tegas dan keras terhadap setiap ‘kekuatan’ yang tidak mau menerima
Pancasila sebagai ideologi. Tanggal 27 Maret dan 16 April 1980, Presiden
Suharto mengeluarkan peringatan tersebut melalui pidatonya pada Rapim ABRI di
Pekanbaru. Dia mengatakan bahwa sebelum Orde Baru, Pancasila telah diancam oleh
ideologi-ideologi lain, seperti Marxisme, Leninisme, komunisme, sosialisme,
nasionalisme dan agama. Setiap organisasi di negara ini harus menerima
Pancasila sebagai ideologi, sehingga merupakan keharusan bahwa angkatan
bersenjata mendukung kelompok-kelompok yang membela dan mengikuti Pancasila.
Soeharto, bahkan mengisyaratkan agar ABRI harus mendukung partai Golkar,
sebagai konsekuensi dukungan atas pemerintahan yang membela Pancasila. ABRI
–dengan demikian- harus berdiri di atas politik. Menurut David Jenkis, Soeharto
dan kroninya di ABRI merasa bahwa jika militer ‘netral’ dalam pemilu, maka
partai Islam (PPP) akan mengalahkan Golkar. Dari pidato-pidato Soeharto, Islam
jelas digambarkan sebagai ancaman terhadap Pancasila, karena itu netralitas
ABRI sama saja dengan membahayakan Pancasila[24].
Dengan demikian, perjalanan panjang Orde Baru pada dasarnya didasarkan pada keinginan untuk ‘menguatkan’ dan ‘menancapkan’ ideologi Pancasila sebagai satu-satunya ideologi sah negara. Dengan ‘berlindung’ dibalik ideologi Pancasila, Orde Baru yang didukung kino-kinonya (ABRI, Golkar dan Birokrasi) menjadi kekuatan ‘luar’ biasa di negara Indonesia, tanpa dapat disentuh oleh kekuatan manapun. Sebab, setiap kekuatan di luar mainstream ‘negara’ saat itu akan dianggap sebagai merongrong ideologi Pancasila. Setelah ideologi komunisme mampu ditumpas, maka Soeharto masih menganggap ada kekuatan lain yang ‘berbahaya’, yaitu yang datang dari kekuatan Islam.
Apa yang
dilakukan Soeharto tersebut memperoleh kecaman dan menimbulkan cetusan
perlawanan keras dan hidupnya kembali perdebatan mengenai Pancasila. Kelompok
lima puluh yang terdiri dari para purnawirawan ABRI yang terkemuka, mantan para
pemimpin partai dan akademisi (disebut ‘Petisi 50’) menyerang Soeharto dalam
suatu pernyataan keprihatinan’ terbuka yang dikirim ke DPR. Pernyataan itu
menuduh bahwa Soeharto telah memakai ‘alasan’ ancaman terhadap Pancasila untuk
tujuan-tujuan politiknya sendiri. Petisi 50 menganggap bahwa Pancasila tidak
pernah dimaksudkan untuk dipakai sebagai ancaman politik terhadap mereka yang
dianggap sebagai lawan-lawan politik. Pernyataan ini mengecam Soeharto, karena
mencoba mem-personifikasi-kan
Pancasila sehingga tiap desas-desus tentang dia akan dianggap sebagai sikap
anti-Pancasila[25]. Reaksi tersebut
berakibat pada di back-list-nya
mereka oleh pemerintah, dan banyak dari mereka ditangkapi, dipecat dan dilarang
ke luar negeri. Tapi, ikhtiar ini telah memicu bangkitnya perlawanan atas
pemerintah Orde Baru, terutama faksi NU dari PPP.
Ditetapkannya
Pancasila sebagai asas tunggal pada perkembangan selanjutnya adalah semakin
memperjelas arah kepentingan politik negara dengan menggunakan ideologi
Pancasila[26]. Semua organisasi,
apapun bentuk dan jenisnya, harus mencantumkan Pancasila sebagai asas dalam
anggaran dasarnya. Menurut William Liddle[27] menjelaskan mengapa
asas tuinggal itu demikian penting bagi Orde Baru:
Pemerintah
memandang islam sebagai satu-satunya kekuatan sosial yang belum berhasil
ditundukkan, belum bersedia menerima gagasan pemerintah tentang pemegang
kekuasaan tertinggi. Diterimanya doktrin negara Pancasila oleh umat Islam
merupakan simbol dari pengakuan. Penerimaan ini juga memberikan legitimasi
kepada kendali pemerintah yang semakin ketat terhadap kehidupan organisasional
umat Islam.
Bahkan, pada bulan Mei 1982 Wakil Presiden Adam Malik dengan tegas menunjuk
Islam politik sebagai sasaran utama pemerintah:
Kita harus menghindari perdebatan tentang
ideologi dan agama....Dalam kampanye (pemilu 1982) saya telah menekankan
bahayanya memecah dan mempolarisasi diri kita sendiri menuruti garis agama.
Disengaja atau tidak, partai Islam telah mengeksploitasi perasaan-perasaan keagamaan
rakyat. Ini tidak benar dan bisa membahayakan, suatu cara untuk memecah belah
rakyat[28].
Peristiwa berdarah di
Tanjung Priok pada bulan September 1984 merupakan puncak ketegangan
(politik-ideologis) antara kekuatan Islam versus Pancasila. Hal ini dikarenakan
adanya persepsi dalam sebagian
komunitas Islam bahwa negara memakai Pancasila sebagai alat ideologis untuk
menindas Islam politik. Peristiwa tersebut kemudian diikuti oleh serangkaian
pengeboman pada bulan Oktober, yang menurut pemerintah dilakukan oleh ekstremis
Islam anti-Pancasila di pusat kota Jakarta. Anggota-anggota Petisi 50, termasuk
Mayjen (Purn) Dharsono, ditangkap dan diadili dengan tuduhan subversi
(anti-Pancasila) karena menghasut peristiwa Tanjungpriok dan pengeboman di
Jakarta[29].
Pada era 1990-an,
kekuasaan Orde Baru semakin memperoleh hati di masyarakat dengan kebijakan
pertumbuhan ekonomi yang cukup mengesankan. Bank Dunia, dalam suatu laporan
September 1993 yang dikutip The East
Asian Miracle menunjuk Indonesia sebagai suatu ‘ekonomi Asia Timur yang
berkinerja tinggi’ dan meramalkan bahwa negara ini akan memasuki bangsa-bangsa
yang ber-income-menengah menjelang
peralihan abad. Janji Orde Baru pada pertengahan tahun 1960-an tentang
peningkatan besar dalam GNP dan pendapatan per kapita pada kenyataannya telah
dipenuhi. Standar kehidupan rakyat telah membaik secara dramatis. Realitas ini
semakin menguatkan citra Orde Baru dihadapan rakyatnya. Bahkan telah berhasil
membangun image tentang kebobrokan
ekonomi Orde Lama dan keberhasilan ekonomi Orde Baru. Kebobrokan ekonomi Orde
Lama disebabkan karena ‘terlalu sibuk’ melakukan perdebatan panjang tentang
ideologi negara, bahkan cenderung melakukan penyelewengan atas Pancasila.
Artinya, bagi Orde Baru, konsekuensi-konsekuensi penyelewengan tersebut adalah
kondisi perekonomian yang kacau dan ketidakstabilan politik.
Era ini ditandai dengan
adanya kemesraan antara pemerintahan Orde Baru dengan kekuatan Islam, bahkan
dengan didirikannya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), bulan Desember
1990. Kemesraan tersebut seolah menandai berakhirnya konfrontasi ideologi
antara kekuatan Islam dengan Pancasila. Stabilitas politik pada era ini telah
menjamin terselenggaranya pembangunan secara bertahap dan membaiknya
pertumbuhan ekonomi masyarakat pada umumnya. Meskipun Sri Bintang Pamungkas,
tokoh PPP (saat itu) dan pengurus ICMI justru mempersoalkan adanya
penyelewengan Pancasila utamanya tentang asas
keadilan sosial yang tidak terpenuhi dalam pertumbuhan ekonomi tersebut.
Era Reformasi :
Antara Demokrasi dan
Anarkhi
Penyelewengan masa Orde
Baru pada akhirnya berakibat pada gelombang besar reformasi yang telah berhasil
menggulingkkan kekuatan Orde Baru, Mei 1997, dengan turunnya Soeharto dari
kursi kepresidenan setelah 32 tahun menjadi presiden. Munculnya reformasi
seolah menandai adanya jaman baru bagi perkembangan perpolitikan nasional
sebagai anti-tesis dari Orde Baru yang dikatakan sebagai pemerintahan korup dan
menindas, dengan konformitas ideologinya. Pada era ini, kemudian berkembang
secara pesat keinginan untuk ‘mengkhayalkan’ terbentuknya masyarakat sipil yang
demokratis dan berkeadilan sosial, tanpa kooptasi penuh dari negara.
Persoalannya adalah justru lepas kendalinya kekuatan masyarakat sipil dari
‘kooptasi’ negara secara bebas dari awal dari tragedi besar dan konflik-konflik
berkepanjangan yang menandai munculnya jaman baru tersebut. Tampaknya era ini
seperti mengulang problem perdebatan ideologis yang terjadi pada era Orde Lama,
dan awal Orde Baru yang berakhir dengan instabilitas politik dan ekonomi secara
mendasar. Jatuhnya Orde Baru yang sejak awal mengidentifikasikan sebagai
–satu-satunya- pendukung Pancasila, seolah menandai munculnya
pertanyaan-pertanyaan mendasar atas kekuatan Pancasila sebagai sebuah ideologi.
Tulisan dibawah ini mencoba menggagas ulang sekaligus meneguhkan kekuatan
Pancasila sebagai ideologi, dan memberikan spirit nilainya bagi pembentukan
masyarakat sipil di Indonesia, agar kesalahan sejarah tidak terulang lagi
(Sumber : Buku (De) Konstruksi Indoeologi Negara : Upaya Membaca Ulang Pancasila,
Listiyono Santoso, Heri Santoso dan Soedarso, 2003, Penerbit Ning-Rat Press,
Yogyakarta)
Komentar
Posting Komentar