Langsung ke konten utama

Don't Remove Your Past

Masa Lalu itu untuk di kenang bukan di binasakan. Sekalipun itu memalukan, menyesatkan karna seburuk-buruknya masa lalu, kita gak bisa pungkiri mereka adalah bagian sejarah dalam hidup kita. Bahwa kita pernah mengalami jatuh bangun, sejarah mencatat semuanya dan membungkus dalam kotak bernama memori. Tempatkan mereka di hati sebagai reminder kita dalam melangkah kedepan. Yang baik jadikanlah kenangan indah, yang buruk jadikanlah pelajaran berharga. Seorang teman bicara, "Del, gue mampir ke blog lo dan tanpa sengaja keasikan baca yang lama-lama. Kenapa gak dihapus aja?. Lo gak takut kalau kebaca temen-temen baru?" Hmmmm masa lalu kan bukan tato yang ketika berhijrah kita harus hapus itu tato. Lagian selama kenangan-kenangan pahit bukan lah aib, selama itu juga aku tidak merasa terganggu bila di publish.  Perihal teman baru, biarlah...... Aku tidak perduli dengan penilaian orang. Karena aku hidup bukan sekedar untuk membuat orang lain terkesan. Dengan membagi kis

PPKN Part lll

PERAN SERTA MAHASISWA DALAM INTERNALISASI DAN AKTUALISASI NILAI-NILAI PANCASILA

 Pusat Pengembangan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (PPMK) UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA Semarang, 19 September 2011
AKTUALISASI Pancasila dapat dibedakan atas dua hal: aktualisasi obyektif dan subyektif. Aktualisasi obyektif ditujukan pada kelembagaan negara, legislatif, eksekutif dan yudikatif. Materi aktualisasinya dikenakan pada bidang-bidang politik, ekonomi, dan hukum, terutama penjabarannya dalam undang-undang, haluan negara, pemerintahan, pertahanan keamanan, pendidikan, sosial budaya, dan bidang-bidang lainnya1. Aktualisasi subyektif adalah internalisasi nilai-nilai Pancasila menjadi perilaku setiap individu dalam aspek moral kaitannya dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Aktualisasi subyektif ditujukan bagi warganegara biasa dan aparat penyelenggara negara, terutama kalangan elite politik, dimana dalam kegiatan politiknya perlu mawas diri agar memiliki rasa KeTuhanan, rasa Kemanusiaan dan rasa Keadilan sebagaimana yang terkandung dalam Pancasila.
 Topik ini dipilih agar lebih bersifat umum untuk kalangan mahasiswa mana pun yang menjadi substansi dari topik yang diminta Panitia: “Peran Serta Mahasiswa Universitas Katolik Soegijapranata dalam Menginternalisasikan dan Mengaktualisasikan Nilai-Nilai Pancasila dalam Kehidupan Bermasyarakjat, Berbangsa dan Bernegara”, LJMP-PPMK Universitas Soegijapranata. 1 Adaptasi Edy Prihantoro, SSos, MMSI, Aktualisasi Pancasila di Perguruan Tinggi, Universitas Gunadarma.
2
Wacana Internasional Krisis politik yang melanda negara-negara Timur Tengah di Mesir, Libya, Tunisia, Suriah, Bahrain dan Yaman memberikan pelajaran berharga bagaimana ideologi suatu bangsa akan mempengaruhi segala sendi-sendi politik, sosial, ekonomi, dan budaya dimana bangsa tesebut akan melangsungkan pemerintahan barunya. Format ideologi seperti apa yang memberikan payung dalam kehidupan berbangsa-bernegara di Timur Tengah itu menjadi isu yang hangat di tengah pertarungan ideologi besar, liberalisme, kapitalisme, komunisme, paham fundamentalis pasar, dan agama. Begitu juga, isu-isu kebangsaan, keberagaman, dan perbedaan aliran mulai terangkat dan akan berbenturan dengan nilai-nilai kearifan lokal. Setidaknya kita dapat belajar bagaimana kekuatan ideologi bangsa dalam membendung arus derasnya ideologi lain yang dapat merusak kepribadian bangsa, dan bagaimana suatu ideologi memberikan ikatan kuat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun demikian, identitas dan kepribadian suatu bangsa akan menjadi pertaruhan ketika sudah terjadi salah pilih ideologi di negara Timur Tengah nanti. Saat ini ideologi Pancasila telah menjadi pusat perhatian bagi kalangan ilmuwan dunia dalam mencermati kasus krisis politik di Timur Tengah. Karena keampuhan Pancasila dapat mempersatukan perbedaan dan keberagaman yang ada di Indonesia. Kenyataannya pluralisme di Perancis dan Inggris gagal, karena pertarungan ideologi liberalisme sendiri telah melahirkan generasi ideologi baru, yaitu anarki liberalisme seperti yang terjadi di Mesir.
Untuk itu perlu adanya gagasan Ideologi Universal, dimana Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa-bangsa bisa dijadikan ikon Ideologi Dunia, dan dimasyarakatkan oleh PBB. Karena PBB pun masih dinilai lemah untuk bisa menyatukan pandangan ideologis dari anggotanya dalam merumuskan masa depan dunia. Dengan wacana global ini kita dapat melihat dinamika perkembangan ideologi kini dan masa depan, serta bagaimana potensi Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa-bangsa di dunia2. Perlu Undang-Undang Dewasa ini dijumpai semakin banyak warga masyarakat yang bersikap sinis, melecehkan kekuatan bangsa, serta menjauhkan diri dari nilai-nilai Pancasila. Ada kekhawatiran bangsa ini akan melupakan Pancasila sebagai Dasar Negara, apabila kita tidak mengambil sikap dan menanggapinya secara cepat dan tepat.
2 Kerangka Acuan, Pancasila dalam Wacana Internasional dan Bedah Buku Pancasila Contemporary Appeal: Re-Legitimizing Indonesia’s Founding Ethos, Kerjasama Pusat Studi Pancasila UGM-Indonesiana USD, Lund University-Yale University, Yogyakarta, 14 September 2011.
3
Dari pengalaman dan analisis konsep, terkesan aktualisasi nilai-nilai Pancasila bersifat semu, akibat berbagai faktor multivariabel yang kompleks. Jika aktualisasinya tidak dijalankan, tidak mustahil Pancasila sebagai Dasar Negara dan Roh Bangsa akan dijauhi oleh warganya sendiri. Dalam kenyataannya, terdapat upaya sistematis dari kekuatan asing yang mencoba menyingkirkan proses pembelajaran Pancasila dari lembaga pendidikan setelah pelaksanaan Penataran P-4 dihentikan. Terbukti dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MKPK) Pendidikan Pancasila ditiadakan dalam kurikulum nasional. Akhirnya kedudukan Pendidikan Pancasila di Pendidikan Tinggi menjadi peyoratif (direndahkan) dan kontroversial. Sementara di ranah publik, banyak wacana bahwa Pendidikan Pancasila di lembaga pendidikan dianggap gagal dalam memperbaiki kondisi masyarakat. Terbukti banyak yang terjebak dalam perilaku penyimpangan dan kejahatan, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dari pengamatan tampak, organisasi sosial dan politik hampir tidak pernah membicarakan tentang aktualisasi nilai-nilai Pancasila. Perilaku politik cenderung lebih berorientasi untuk mencapai kekuasaan dan kekayaan, maka tidak memiliki kepentingan untuk melakukan aktualisasi nilai nilai Pancasila. Bahkan sementara warga negara dan banyak oknum pemegang kekuasaan yang sengaja secara sistematis menjauhkan diri dan melupakan serta menolak Pancasila sebagai Dasar Negara, Roh Bangsa, Ideologi Nasional, Kepribadian Bangsa, dan Way of Life bangsa Indonesia, akibat mereka menjadi pengekor ideologi dan paham asing yang dianggapnya lebih relevan. Pancasila diterima dan dilaksanakan hanya sebagai alat (tool) saja. Mereka memiliki sikap dan perilaku yang cenderung menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, yang menjadi ajaran dasar paham kapitalisme dan komunisme. Fenomena perilaku ini semakin meluas dan menjadi nyata, dengan berpura-pura lupa karena memandang Pancasila tidak relevan dan tidak fungsional, karena munculnya kepentingan baru. Gaya hidup material dan liberal telah berkembang dan menjadi bagian dari hubungan-hubungan sosial. Paham individualisme dan hedonisme semakin kuat dan menjadi ancaman bagi pola kehidupan bangsa yang berbasiskan spiritual dan kultural. Kiranya kita perlu menyusun filosofi baru dengan melakukan revolusi pemikiran dan kultural untuk menghambat masuknya nilai-nilai dan budaya Barat. Diperlukan kejernihan pikiran, kejujuran, keikhlasan, dan kesiapan berkorban, untuk melakukan aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
4
Betapa pentingnya internalisasi dan aktualisasi nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi yang hidup (living ideology) dan menjadi light star yang memandu kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maka adanya UU tentang Aktualisasi Pancasila tampaknya mendesak untuk dipikirkan bersama. Hal serupa sudah diserukan oleh Lembaga Pembudayaan Pancasila dan Pembangunan Jawa Timur (LP3 JATIM), Universitas Airlangga3. Menurut LP3 JATIM, tujuan dasar disusunnya UU tersebut, agar kita sebagai bangsa melaksanakan Pancasila secara murni dan konsisten, serta dapat mengaktualisasikan, membudayakan dan melestarikan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Di samping itu, kita akan mampu menghadapi berbagai paham dan ideologi asing, terutama paham kapitalisme liberal, pragmatisme sekuler, materialisme, dan sebagainya. UU itu juga dimaksudkan agar bangsa Indonesia dapat menyelamatkan diri dari konflik dan kehancuran. Aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus dapat mengikat semua elemen bangsa. UU tersebut sangat diperlukan karena eksistensinya relevan dan signifikan dalam menghadapi kondisi dewasa ini yang sedang dilanda krisis kebangsaan yang disebabkan oleh masuknya ideologi asing dan orientasi baru yang berpotensi menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945. Enclave Ideologi Krisis aktualisasi Pancasila telah berlangsung lama dan krisis tersebut juga seiring dengan krisis kehidupan beragama. Kini, bangsa Indonesia tidak bisa dibendung akan memiliki banyak sistem dalam kehidupan kita. Di Negara Pancasila akan ada enclave ideologi kapitalisme-liberal. Fenomena gaya hidup liberal (liberal life style) ternyata hidup dan berkembang di masyarakat. Arus budaya asing yang dibawa modernisasi dan globalisasi sangat deras dan membawa paham-paham sekuler yang datang dari Barat. Peminpin dan elite bangsa jarang menjadi tokoh figuratif pemberi teladan dalam mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila, sebagai akibat dari orientasi politik yang sangat kuat pada kekuasaan dan kekayaan. Terdapat kesenjangan besar antara moralitas dengan perilaku. Menampilkan diri sebagai sosok moralis, namun mereka menjadi pelaku-pelaku korupsi uang rakyat. Bahkan terjadi kejahatan KKN korporatif. Bangsa dan negara akhirnya menghadapi kesulitan besar memberantas KKN, karena kejahatan KKN itu telah berurat dan berakar dalam seluruh bidang kehidupan.
3 Drs. H. Muhammad Adib, MA et.al., Urgensi Undang-Undang RI tentang Aktualisasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, LP3 JATIM-Laboratorium Humaniora Tingkat Persiapan Bersama (TPB), Universitas Airlangga, 15 September 2008.
5
Perilaku dan tindak kejahatan KKN tidak lagi dinyatakan sebagai sesuatu yang buruk, kotor, dan bertentangan dengan ajaran Tuhan YME, karena banyak warga dan kaum elite yang mengembangkan “moralitas nihilisme”, sehingga tindakan kejahatan sempurna telah terbentuk. Manusia-manusia yang menihilkan moralitas telah terbentuk di bumi Indonesia. Banyak kaum elite tidak menyesal dan merasa malu akan perbuatannya, karena tindakan bertanggungjawab bukan zamannya lagi, dan memandang Tuhan YME tidak akan memurkainya. Bahkan murka Tuhan pun dikiranya dapat ditukar dengan kekuatan uang. Ke-semu-an makna hidup telah berkembang di berbagai lini kehidupan. Bahkan kaum intelektual pun ikut terjebak pada kesemuan berkomitmen terhadap kebenaran, kebaikan, kejujuran dan keadilan. Sejumlah Profesor, doktor, dan magister ikut tejebak ke dalam kesemuan makna-makna kehidupan dan moralitas. Sehingga mereka harus mendekam di dalam lapas. Strategi Budaya Aktualisasi nilai-nilai Pancasila bukan suatu dorongan membangun masyarakat dan bangsa Indonesia untuk kembali menjadi masyarakat dan bangsa yang tradisional dan tertutup, atau menjadi masyarakat dan bangsa yang konservatif dan menjauhkan diri dari pergaulan dunia internasional. Aktualisasi nilai-nilai Pancasila memiliki makna dinamik di mana aktualisasi tersebut dapat mendorong masyarakat dan bangsa Indonesia untuk berubah, beradaptasi, dan menuju kemajuan. Demikian juga aktualisasi nilai-nilai Pancasila bukan untuk menyebarluaskan paham dan nilai-nilai sekularisme dan materialisme dalam masyarakat dan bangsa Indonesia, melainkan sebaliknya harus bermakna untuk menolak paham sekularisme dan materialisme sebab masyarakat dan bangsa Indonesia adalah masyarakat dan bangsa yang religius dan konsisten untuk percaya kepada eksistensi Tuhan YME. Aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara niscaya dilakukan oleh seluruh rakyat Indonesia sekarang juga. Jika tidak, maka Pancasila akan dijauhkan oleh warganya sendiri. Aktualisasi Pancasila adalah keniscayaan pembelajaran dari generasi ke generasi. Konsep aktualisasi nilai-nilai Pancasila mencakup pengertian hakikat Pancasila secara mendalam, menyadari nilai-nilai Pancasila (kesadaran rasional, kesadaran emosional, dan kesadaran spiritual), serta mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari yang nyata. Menerima Pancasila jangan hanya sebatas wacana dan dijadikan sebagai alat belaka.
6
Proses aktualisasi nilai-nilai Pancasila hendaknya berjalan seiring dengan sosialisasi, internalisasi, dan kulturalisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan melalui proses pembelajaran yang non-indoktrinatif dan pemaksaan. Aktualisasi nilai-nilai Pancasila sebenarnya sebuah “strategi budaya” dari masyarakat dan bangsa Indonesia untuk membangun budaya dan peradaban bangsa di masa depan. Pancasila adalah sumber untuk mengembangkan budaya dan peradaban bangsa yang bermartabat. Jika aktualisasi nilai-nilai Pancasila gagal, maka masyarakat dan bangsa Indonesia akan memiliki budaya baru, yang bukan berakar pada budaya masyarakat dan bangsa sendiri. Masyarakat dan bangsa Indonesia secara tidak disadari telah mengalami krisis moralitas dan jatidiri yang relatif sangat parah, sehingga membentuk warga yang tidak memiliki komitmen tinggi dalam menjunjung kebenaran, kejujuran dan kebaikan serta nilai-nilai kemanusiaan. Akhirnya masyarakat dan bangsa ini tidak memiliki daya kemandirian dan kebanggaan yang kokoh terhadap bangsa sendiri. Paham nasionalisme dan patriotisme telah menjadi semu. Warga akhirnya memuji dan menghargai bangsa-bangsa asing yang telah maju. Globalisasi telah meruntuhkan nasionalisme Indonesia. Masyarakat dan bangsa Indonesia janganlah menyia-nyiakan waktu, sebab bangsa dan masyarakat asing telah berusaha mencerabut akar-akar Pancasila di bumi Indonesia, sehingga bangsa Indonesia semakin menghadapi keraguan akan pegangan dan pedoman hidup bangsanya sendiri. Kapitalisme-liberal telah menyebarkan semangat baru untuk mendorong warga masyarakat melupakan tradisi-tradisi konstruktif dalam bangsanya sendiri seperti semangat gotong-royong yang menjadi hakikat Pancasila. Dinamika Aktualisasi Nilai Pancasila
Moerdiono (1995/1996) menunjukkan adanya tiga tataran nilai dalam ideologi Pancasila4. Pertama, nilai dasar, adalah nilai yang bersifat abstrak dan tetap, yang terlepas dari pengaruh perubahan waktu dan tempat dengan kandungan kebenaran bagaikan aksioma. Dari segi kandungan nilainya, nilai dasar berkenaan dengan eksistensi sesuatu yang mencakup cita-cita, tujuan, tatanan dasar dan ciri khasnya, yang bersumber dari para Pendiri Negara, terutama dari Penggali Pancasila, Bung Karno. Kedua, nilai instrumental, adalah nilai kontekstual yang merupakan penjabaran dari nilai dasar, sebagai arahan untuk kurun waktu dan kondisi tertentu.
4 Mulyono, Dinamika Aktualisasi Nilai Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro.
7
Nilai instrumental ini dapat dan bahkan harus disesuaikan dengan tuntutan zaman. Namun nilai instrumental haruslah mengacu pada nilai dasar yang dijabarkannya. Penjabaran itu bisa dilakukan secara kreatif dan dinamik dalam bentuk-bentuk baru untuk mewujudkan semangat yang sama, dalam batas-batas yang dimungkinkan oleh nilai dasar itu. Dari kandungan nilainya, nilai instrumental merupakan kebijakan, strategi, organisasi, sistem, rencana, program, juga proyek-proyek yang menindaklanjuti nilai dasar tersebut. Lembaga negara yang berwenang menyusun nilai instrumental ini adalah MPR, Presiden, dan DPR. Ketiga, nilai praksis, adalah nilai yang terkandung dalam kenyataan sehari-hari, berupa cara bagaimana rakyat mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila. Berwujud, baik secara tertulis maupun tidak tertulis, baik oleh cabang eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, oleh organisasi kekuatan sosial politik, organisasi kemasyarakatan, badan-badan ekonomi, pimpinan kemasyarakatan, bahkan oleh warganegara secara individual. Dari segi kandungan nilainya, nilai praksis merupakan gelanggang pertarungan antara idealisme dan realitas. Jika ditinjau dari segi aktualisasi nilainya, sesungguhnya pada nilai praksislah ditentukan tegak atau tidaknya nilai dasar dan nilai instrumental itu. Ringkasnya bukan pada rumusan abstrak, dan bukan juga pada kebijakan, strategi, rencana, program atau proyek terletak batu ujian terakhir dari nilai yang dianut, tetapi pada kualitas aktualisasinya di lapangan. Bagi suatu ideologi, yang paling penting adalah bukti pengamalannya atau aktualisasinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Suatu ideologi dapat mempunyai rumusan yang ideal dengan ulasan yang logis serta konsisten pada tahap nilai dasar dan nilai instrumentalnya. Akan tetapi, jika pada nilai praksisnya rumusannya tidak dapat diaktualisasikan, maka ideologi tersebut akan kehilangan kredibilitasnya. Bahkan Moerdiono menegaskan, bahwa tantangan terbesar bagi suatu ideologi adalah menjaga konsistensi antara nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praksisnya. Jika konsistensi ketiga nilai itu dapat ditegakkan, maka terhadap ideologi itu tidak akan ada masalah. Masalah baru timbul jika terdapat inkonsisitensi dalam tiga tataran nilai tersebut. Untuk menjaga konsistensi dalam mengaktualisasikan nilai Pancasila ke dalam praktik hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, perlu Pancasila formal yang abstrak-umum-universal itu ditransformasikan menjadi rumusan Pancasila yang umum kolektif, dan bahkan menjadi Pancasila yang khusus individual (Suwarno, 1993). Artinya, Pancasila menjadi sifat-sifat dari subyek kelompok dan individual, sehingga menjiwai semua perilaku dalam lingkungan praksisnya di bidang kenegaraan, politik, dan pribadi.
8
Driyarkara menjelaskan proses pelaksanaan ideologi Pancasila, dengan gambaran gerak transformasi Pancasila formal sebagai kategori tematis (berupa konsep, teori) menjadi kategori imperatif (berupa norma-norma) dan kategori operatif (berupa praktik hidup). Proses tranformasi berjalan tanpa masalah apabila tidak terjadi deviasi atau penyimpangan, yang berupa pengurangan, penambahan dan/atau penggantian (Suwarno, 1993). Semangat Kejuangan Bersumber pada Nilai-Nilai Pancasila Sejak awal, Pancasila merupakan kritik ideologi atas ideologi dominan dunia pada saat itu, demikian juga untuk kini dan selanjutnya. Yang perlu kita bangun bersama adalah mengelaborasi kembali nilai-nilai itu sesuai dengan konteks zaman dan tuntutan masyarakat ke depan. Ini tugas yang tidak mudah, karena memerlukan pemahaman komprehensif atas arah perubahan sosial dewasa ini dan juga nilai-nilai universal yang tumbuh dan berkembang di dunia. Sekalipun secara hakiki nilai-nilai Pancasila sudah selaras dengan nilai-nilai universal, sebagai sebuah sistem nilai harus selalu ditafsir dan dirumuskan, baik dalam rangka membangun landasan bersama kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maupun dalam rangka menjawab secara kritis gempuran dan tantangan ideologis global yang berkembang saat ini. Perwujudan normatif Pancasila dalam konteks masyarakat dengan tata nilai diskursif:
Nilai Ketuhanan
Pengembangan religiositas yang mengangkat harkat kemanusiaan dan keadilan sosial, yang menghargai pluralitas iman dengan berpijak pada semangat solidaritas nasional.
Nilai Kemanusiaan
Penegakan HAM yang tidak terlepas dari KAM (Kewajiban Asasi Manusia) yang dilandasi oleh penghargaan terhadap sesama sebagai makhluk Tuhan melalui pengembangan solidaritas sosial, kultural, dan ekonomi nasional.
Nilai Persatuan
Melindungi segenap tumpah darah Indonesia dengan berbagai ragam latar belakang historis religio-sosio-kulturalnya dengan berpegang pada prinsip demokrasi kerakyatan, kemanusiaan dan keadilan sosial.
Nilai Kerakyatan
Pengembangan demokrasi dalam berbagai bidang kehidupan dengan tetap berpijak pada nasionalitas, religiositas, dan nilai kemanusiaan demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Nilai Keadilan Sosial
Pengembangan sistem ekonomi yang berpijak pada kepentingan nasional dan melindungi kekayaan nasional dengan tetap memperhatikan keanekaan sistem ekonomi kerakyatan yang berjangkar pluralitas identitas kultural dan sistem ekonomi lokal.
9
Langkah strategis perlu dilakukan, baik pada aras makro maupun mikro. Pada aras makro: perlu dibangun strategi kebudayaan yang mengintegrasikan nilai-nilai multikulturalisme dengan tetap berorientasi pada upaya pembentukan identitas nasional yang dinamis. Pada aras mikro: membangun solidaritas kultural dan sosial dengan memanfaatkan secara tepat berbagai bentuk integrasi sosial pada berbagai lapis masyarakat, tanpa pretensi untuk membangun Pancasila sebagai ideologi komprehensif seperti eksperimen Orde Baru. Harus diterima sebagai fakta bahwa Pancasila bukanlah suatu ajaran lengkap yang dapat begitu saja dijabarkan dalam tindakan, melainkan suatu konsensus mengenai dasar orientasi rasional yang memberikan arah bagi pembangunan bangsa dan negara (Sastrapratedja, 2009). Ideologi sebagai sistem nilai memuat tujuan bersama yang selalu harus diperbincangkan, karena kenyataannya perang ideologi pada semua lini belum berakhir. Bahkan boleh dikatakan, perang ideologi tidak akan pernah berakhir. Bangsa yang sehat adalah bangsa yang mampu mengelaborasi ideologinya secara cerdas dan bermoral, utamanya berpihak pada kepentingan nasional. Dalam dialog dengan ideologi lain, akan selalu terjadi benturan, baik secara frontal maupun secara tidak kasatmata. Ketika kita dihadapkan pada, misalnya, masalah perdagangan komoditi pertanian, peternakan, dan perikanan, pokok soal yang terkait sebenarnya tidak hanya berhubungan dengan dimensi ekonomi, namun juga dimensi ketahanan pangan yang langsung berjalin dengan politik pangan dan budaya pangan. Jika kebutuhan pangan kita (jenis dan pola konsumsinya) semata-mata mengadopsi model kebutuhan pangan negara maju (dengan konsumsi daging sangat tinggi), maka kebijakan membuka keran impor daging sapi dan ayam secara besar-besaran akan terlihat sebagai kebijakan yang seolah berpihak pada “kebutuhan nasional”, karena mempertahankan harga daging murah yang terjangkau rakyat banyak. Namun keputusan tersebut secara politik mengorbankan peternakan dalam negeri, dan secara tidak langsung menciptakan budaya pangan baru, yang secara sistemik justru memperbesar ketergantungan kita pada produk daging luar negeri. Jika demikian, apa yang dapat dilakukan? Jawabannya: Merumuskan kembali cita-cita bersama kita sebagai bangsa. Kita akan membangun diri sebagai “bangsa carnivora” ataukah memiliki jenis dan pola konsumsi yang sesuai dengan ketersediaan alam dan kemampuan kita sendiri? Pola pertanyaan ini dapat diperluas untuk bidang lain, yang intinya mengarah pada pertanyaan dasar: Adakah kita masih punya hasrat untuk berdaulat secara politik, ekonomi, dan budaya? Modal apakah yang meski kita miliki untuk mewujudkannya?
10
Manusia merupakan makhluk terbuka yang mampu berefleksi, menilai dirinya sendiri. Dasar sikap terbuka dan kemampuan reflektif ini terletak pada kesadaran historis, yang merupakan kesadaran yang menjangkau dimensi waktu lampau, kini, dan akan datang. Terkait dengan pertanyaan: Adakah kita masih punya hasrat untuk berdaulat (politik, ekonomi, dan budaya), akhirnya kembali kepada kita juga untuk menjawabnya. Namun terkait dengan pertanyaan: “modal apakah yang kita miliki”, berefleksi atas berdirinya Republik Indonesia, jawabnya jelas: semangat kejuangan. Kalau di m asa silam kita harus menjadi “hebat” dulu baru merdeka, agaknya sampai saat ini pun kita tak akan berani menyatakan kemerdekaan. Namun para Pendiri Negara dan para pejuang bangsa jelas meneladankan sesuatu yang agaknya sudah banyak kita lupakan, yakni semangat kejuangan.
Ketika atlet kita masih makan tempe, tim sepakbola kita dapat bermain imbang dengan Rusia. Ketika alat navigasi kita masih sangat terbatas, kita sudah berbicara tentang batas laut dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Ketika sarana pendidikan kita masih sangat terbatas, kita justru memiliki empu pendidikan yang menggagas model pendidikan nasional yang sesuai dengan jiwa bangsa. Ketika peralatan perang kita masih sangat terbatas, kita berani berhadapan dengan Belanda dan sekutunya untuk mengembalikan Irian ke pangkuan Pertiwi. Dasar semua itu adalah semangat kejuangan5. Demokrasi Deliberatif Identik Demokrasi Pancasila Deliberatif yang berasal dari kata deliberation (Inggris), atau deliberatio (Latin), adalah musyawarah, omong-omong, berunding, memberikan nasihat satu sama yang lain, berbincang-bincang, dan menimbang-nimbang.
Demokrasi deliberatif (demokrasi permusyawaratan/demokrasi diskursif), istilah ini tampak baru, namun bila direnungkan isinya, masyarakat kita telah memilikinya6. Senada dengan pernyataan itu, dalam pidato pengukuhannya Prof. Purwo Santosa menyatakan, bahwa kita dikejutkan oleh demokrasi permusyawaratan (deliberative democracy) yang dikembangkan oleh ilmuwan mancanegara. Ironis bukan? Kita harus belajar sesuatu kepada orang lain tentang hal yang pernah dan mungkin masih menjadi watak budaya kita7.
5 Drs. Sindung Tjahyadi, MHum, Membangun Budaya Baru di Era Global Berlandaskan Ideologi Pancasila, Masih Bisakah?, Diskusi Panel, Membudayakan Kembali Nilai-Nilai Pancasila dan Kejuangan Bangsa di Era Global dan Demokrasi, Palembang, 26 Oktober 2010. 6 F. Budi Hardiman, Program Pemberdayaan Masyarakat Sipil dalam Proses Otonomi Daerah, Forum Rapat Kerja III dan Koordinasi Pelaksanaan Deliberative Forum, Yogyakarta, 24 Agustus 2005. 7 Prof. Drs. Purwo Santosa, MA, Ph.D, Ilmu Sosial Transformatif, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Fisipol-UGM, 19 April 2011.
11
Demokrasi deliberatif mengutamakan penggunaan tata cara pengambilan keputusan yang menekankan musyawarah dan penggalian masalah melalui dialog dan tukar pengalaman di antara para pihak dan warganegara. Tujuannya untuk mencapai musyawarah dan mufakat berdasarkan hasil-hasil diskusi dengan mempertimbangkan berbagai kriteria. Keterlibatan warga (citizen engagement) merupakan inti dari demokrasi deliberatif. Demokrasi deliberatif berbeda dengan demokrasi perwakilan, yang menekankan keterwakilan (representation), prosedur pemilihan perwakilan yang ketat, dan mengenal istilah mayoritas dan minoritas.
Demokrasi deliberatif mengutamakan kerjasama antaride dan antarpihak, sedangkan kata kunci demokrasi perwakilan adalah kompetisi antaride dan antarkelompok. Jika demokrasi perwakilan ditandai oleh kompetisi politik, kemenangan, dan kekalahan satu pihak, maka demokrasi deliberatif lebih menonjolkan argumentasi, dialog, saling menghormati, serta berupaya mencapai titik temu dan mufakat. Demokrasi langsung mengandalkan Pemilu, sistem keterwakilan (delegasi wewenang dan kekuasaan), dan elite-elite politik, sedangkan demokrasi deliberatif lebih menekankan partisipasi dan keterlibatan langsung warganegara8.
Dalam demokrasi deliberatif terdapat tiga prinsip utama9:
 prinsip deliberasi, artinya sebelum mengambil keputusan perlu melakukan pertimbangan yang mendalam dengan semua pihak yang terkait.
 prinsip reasonable, artinya dalam melakukan pertimbangan bersama hendaknya ada kesediaan untuk memahami pihak lain, dan argumentasi yang dilontarkan dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.
 prinsip kebebasan dan kesetaraan kedudukan, artinya semua pihak yang terkait memiliki peluang yang sama dan memiliki kebebasan dalam menyampaikan pikiran, pertimbangan, dan gagasannya secara terbuka serta kesediaan untuk mendengarkan.
Demokrasi deliberatif diperlukan untuk menyatukan berbagai kepentingan yang timbul dalam masyarakat yang heterogen. Jadi setiap kebijakan publik hendaknya lahir dari musyawarah, dan bukannya dipaksakan. Deliberasi dilakukan untuk mencapai resolusi atas terjadinya konflik kepentingan.
8 Iman Abda, Mengelola Konsultasi Publik Membangun Demokrasi Deliberatif, Resensi Buku Memfasilitasi Kebijakan Publik, Refleksi Pengalaman Penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah, FPPM, BIGS, USAID-DRSP dan Dirjen Bina Bangda Depdagri, 3 Juli 2007. 9 Ujan AA, et.al., Pancasila Sebagai Etika Sosial Politik Bangsa Indonesia, MPK Universitas Atma Jaya, Jakarta, 2008.
12
Maka diperlukan proses yang fair demi memperoleh dukungan mayoritas atas kebijakan publik dalam rangka ketertiban sosial dan stabilitas nasional.
Dalam demokrasi deliberatif, negara tidak lagi menentukan hukum dan kebijakan-kebijakan politik lainnya dalam ruang tertutup yang nyaman (splendid isolation), tetapi masyarakat sipil melalui media dan organisasi yang vokal memainkan pengaruh yang sangat signifikan dalam proses pembentukan hukum dan kebijakan politik. Medan publik menjadi arena di mana perundangan dipersiapkan dan diarahkan secara diskursif10.
Bukankah pembukaan UUD 1945 alinea keempat dan Sila Keempat Pancasila, dirumuskan bahwa, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Artinya demokrasi Pancasila adalah juga wujud demokrasi deliberatif. Tetapi saat ini ada semacam hegemony of meaning yang mendefinisikan bahwa satu-satunya metode rekrutmen yang demokratis hanya melalui pemilihan secara langsung.
Euforia pemilihan telah meminggirkan kekhasan demokrasi Indonesia yang berbasis pada prinsip kekeluargaan. Wajah demokrasi Indonesia serta-merta bermetamorfosa menjadi westernistik. Demokrasi sebenarnya merupakan dimensi humanisme dalam kebudayaan, karenanya demokrasi dapat dipandang sebagai hasil kreativitas manusia yang berkebudayaan dan berkeadaban11. Secara filosofis, vox populi vox Dei (suara rakyat adalah suara Tuhan) sebagai ruh demokrasi menunjukkan bahwa ukuran demokrasi harus benar-benar berpijak pada kepentingan dan kehendak rakyat. Dalam perspektif ini, demokrasi tidak semata-mata berbicara mengenai kebebasan memilih dan dipilih, tetapi demokrasi harus bisa mengakomodir aspirasi rakyat. Para ilmuwan politik yang sangat berperan dalam mengembangkan teori kebudayaan politik, seperti Gabriel Almond, Sidney Verba dan Lucian W. Pye, telah merintis riset tentang keterkaitan antara budaya dan politik. Mereka menyatakan bahwa setiap proses politik senantiasa terjadi dalam lingkup budaya. Artinya, dalam jangka waktu tertentu akan selalu terjadi proses dialektika antara kehidupan politik di satu pihak dengan sistem nilai budaya masyarakat di pihak lain. Budaya politik oleh mereka diartikan sebagai dimensi psikologis dari sistem politik. Oleh karena itu, budaya politik juga merupakan cerminan sikap khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, serta sikap terhadap peranan warga negara dalam sistem politik itu.
10 Justin DjogoDja, Demokrasi “Deliberatif” di Indonesia, 24 Februari 2010. 11 Sri Sultan HB X, Mengapa KeIstimewaan DIY Harus Dipertahankan?, Hearing Komisi II DPR RI.
13
Dengan demikian, budaya politik mencakup perilaku, kepercayaan, dan tata nilai yang berkembang dalam kehidupan masyarakat. Hal ini kemudian mengalami proses internalisasi dalam bentuk orientasi kognitif (penalaran), afektif (ikatan emosional) dan evaluatif (penilaian). Dengan sikap dan orientasi seperti itu, disertai dengan adanya determinan nilai-nilai keunggulan lokal (local genius), maka akan dapat dijumpai berbagai tipe budaya politik lokal yang berbeda-beda di berbagai daerah.
Budaya politik unggul memiliki tingkat legitimasi yang tinggi karena diperoleh dari partisipasi politik demokratik, dimana semua elemen masyarakat dilibatkan. Demokrasi dalam arti ini adalah meruangkan hadirnya orang lain untuk berandil, berperan serta menyumbangkan kompetensinya. Partisipasi politik ini penting, sehingga demokrasi dirasa tidak menjadi barang mewah bagi kelompok tertentu, khususnya rakyat kecil. Tidak boleh menihilkan partisipasi politik rakyat. Rakyat adalah kata kunci demokrasi itu sendiri12. Peran Mahasiswa Menjadi Manusia Indonesia Seutuhnya Mata kuliah Pancasila disajikan bersama-sama Kewarganegaraan sejalan dengan diberlakukannya Kurikulum Berbasis Kompetensi. Kedua mata kuliah ini dirancang sebagai upaya pembentukan dan pengembangan kepribadian mahasiswa sebagai bekal berkehidupan bermasyarakat dalam mengabdikan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di lain pihak Perguruan Tinggi sebagai institusi yang mempersiapkan sumberdaya manusia di berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi ikut bertanggung jawab terhadap kiprah lulusannya. Salah satu hal penting sebagai bekal bagi lulusan berbagai program studi adalah pengetahuan dan penghayatan tentang mata kuliah pengembangan kepribadian, khususnya Pancasila dan Kewarganegaraan. Agar tepat guna dan berhasil guna, maka Pancasila dan Kewarganegaraan dikaji dengan strategi kontekstual, artinya sesuai dengan bidang ilmu yang ditekuni oleh mahasiswa dan dihubungkan dengan persoalan nyata. Pancasila sebagai norma yang mengatur perilaku berbudaya. Selain itu, mata kuliah ini meskipun berstatus sebagai mata kuliah pengembangan kepribadian, tetapi diharapkan juga bermanfaat sebagai upaya pembentukan kepribadian kesarjanaan yang beretika dan berbudaya. Visi kelompok MPK di Perguruan Tinggi adalah sebagai sumber nilai dan pedoman dalam pengembangan dan penyelenggaraan program studi guna mengantarkan mahasiswa memantapkan kepribadiannya sebagai manusia Indonesia seutuhnya.
12 Dony Kleden, Budaya (Politik) Unggul, Opini, kompas.online.
14
Yakni, membentuk lulusan yang memiliki kemampuan dalam hal disiplin, logika, analitik, kolaboratif, dan interdependen, sifat ingin tahu dan terbuka, bertanggung jawab serta percaya diri13. Catatan Penutup Operasionalisasi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus diupayakan secara kreatif dan dinamik, sebab Pancasila bersifat futuristik. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan nilai-nilai yang dicita-citakan dan ingin diwujudkan. Masalah aktualisasi nilai-nilai dasar ideologi Pancasila ke dalam kehidupan praksis kemasyarakatan dan kenegaraan bukanlah masalah yang sederhana. Soedjati Djiwandono (1995) mensinyalir, masih terdapat kekeliruan mendasar dalam cara memahami dan menghayati Negara Pancasila dalam berbagai dimensinya. Untuk melihat aktualisasi Pancasila menjadi norma hidup sehari-hari dalam bernegara orang harus menganalisis pasal-pasal penuangan Sila Keempat yang berkaitan dengan negara, meliputi: wilayah, warga negara, dan pemerintahan yang berdaulat. Selanjutnya, untuk memahami aktualisasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa, orang harus menganalisis pasal-pasal penuangan Sila Ketiga yang berkaitan dengan bangsa Indonesia, meliputi: faktor-faktor integratif dan upaya untuk menciptakan persatuan Indonesia. Sedangkan untuk memahami aktualisasi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, orang harus menganalisis pasal-pasal penuangan Sila Pertama, Kedua, dan Kelima yang berkaitan dengan hidup keagamaan, kemanusiaan dan sosial ekonomi (Suwarno, 1993). Marilah kita mengkonsolidasikan diri dan merapatkan barisan, serta membangun jaringan kekuatan, agar kita memiliki Undang-Undang tentang Aktualisasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara. Marilah para Mahasiswa Universitas Katolik Soegijapranata ini mengajak berbagai komponen bangsa untuk melakukan Strategi Budaya dengan menjadikan Pancasila sebagai Kepribadian Bangsa, Merah-Putih sebagai Jiwa Bangsa, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai Watak Bangsa dalam upaya melangkah ke depan membangun Peradaban Baru sebagai Jatidiri Bangsa. Saat ini, bangsa Indonesia harus berjuang dan bekerja keras untuk membangun moralitas dan akhlak sebagai puncak budaya bangsa, dan bukannya kekuasaan dan kekayaan. Budaya bangsa dapat diibaratkan sebagai air yang mengalir. Marilah juga, kita jernihkan air tersebut, agar masyarakat dan bangsa Indonesia dapat hidup sehat dan sejahtera.
13 Drs. Sajarwa, MHum et.al., Internalisasi Nilai-Nilai Pancasila dan Tanggung Jawab Warga Negara Berbasis Budaya, Mata Kuliah Pancasila dan Kewarganegaraan, FIB-UGM.
15
Dari segi material, kita sekarang ini memiliki lebih dari yang dimiliki oleh para pendahulu, namun dari segi semangat kejuangan, kita agaknya terjerembab pada semangat egoisme kelompok dan individualisme. Semangat yang memang dibangun dan dikondisikan oleh berbagai pihak yang berkepentingan dengan lemahnya kedaulatan kita. Semua akhirnya terpulang kepada kita bersama. Tunduk, takluk, dan kehilangan kedaulatan, ataukah bangkit dan melawan. Masa depan Indonesia tergantung dari apa yang kita lakukan sekarang, dimana Mahasiswa Berperan Sentral. Semarang, 19 September 1011 GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA, HAMENGKU BUWONO X

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Doa jika kucing hilang

Hi.. Kali ini dengan penunuh semangat bercerita.Ngga kayak kemaren yang menderu penuh air mata. Aku mau sharing tentang pengalaman spiritual ku dengan sang pencipta nih.  Dua hari yang lalu aku cerita kalo Brondie kucing ku hilang, oopss dibuang tepatnya. Soalnya dia kena scabies. Karena binggung terus orang rumah juga udah ada yang ketuleran jadinya mama bilang buang aja. Untuk mencegah dia gak balik lagi aku buang dia jauh menyebrangi sungai (BKT). Jaraknya dari rumah aku itu kira-kira 2KM lah. Waktu itu juga abis subuh jadi masih gelap. Pas dibuang kita pulang ke arah Barat, dan sempet liat Brondie muter ke Timur, jadi kita saling lawan arah. Sampe di rumah ada perasaan nyesel banget. Kepikiran dia yang manja banget itu harus berada di luaran dengan penyakit gatel-gatel itu. Gak kebayang tar mukanya luka-luka dimana-mana. Alhasil aku cuma bisa nangis sejadi-jadinya. Seharian udah lebih dari ditinggal mati suami aja LOL.  Mama sama abang kesian jadi beliin gantinya yan

Don't Remove Your Past

Masa Lalu itu untuk di kenang bukan di binasakan. Sekalipun itu memalukan, menyesatkan karna seburuk-buruknya masa lalu, kita gak bisa pungkiri mereka adalah bagian sejarah dalam hidup kita. Bahwa kita pernah mengalami jatuh bangun, sejarah mencatat semuanya dan membungkus dalam kotak bernama memori. Tempatkan mereka di hati sebagai reminder kita dalam melangkah kedepan. Yang baik jadikanlah kenangan indah, yang buruk jadikanlah pelajaran berharga. Seorang teman bicara, "Del, gue mampir ke blog lo dan tanpa sengaja keasikan baca yang lama-lama. Kenapa gak dihapus aja?. Lo gak takut kalau kebaca temen-temen baru?" Hmmmm masa lalu kan bukan tato yang ketika berhijrah kita harus hapus itu tato. Lagian selama kenangan-kenangan pahit bukan lah aib, selama itu juga aku tidak merasa terganggu bila di publish.  Perihal teman baru, biarlah...... Aku tidak perduli dengan penilaian orang. Karena aku hidup bukan sekedar untuk membuat orang lain terkesan. Dengan membagi kis

Doa Untuk Yang Sedang Terlilit Hutang

Assalamualaikum readers semua.. Kalau sudah sampai pada postingan ini artinya temen-temen semua lagi ada dalam masalah hutang piutang pastinya. Gak apa temen-temen sekalian, tidak usah malu jika punya hutang. Malu lah jika tidak bisa membayar hutang. Karena dalam islam, perkara hutang ini bukan perkara kecil. Pada saat manusia telah meninggal, hutang adalah perkara pertama yang di munculkan. "Jika ada hutang-piutang silahkan hubungi keluarga ybs" kalimat itu kerap kita dengar saat yang punya hutang telah meninggal.Itu sebab hutang bukan lah perkara ringan. Saya mau berbagi pengalaman mengenai hutang semoga bisa menjadi manfaat bagi teman semua. Dahulu sekitar April 2016 saya pernah terlilit hutang (kreditan) dalam kasus ini, saya adalah pihak yang didzalimi. Seseorang (Si Pulan) telah berhutang atas nama saya pada perusahaan leassing. Pada saat itu saya hanya bisa berpositif saja dan 100% sungguh sungguh niat hanya ingin membantu si pulan. Bulan pertama, bulan kedua