Langsung ke konten utama

Don't Remove Your Past

Masa Lalu itu untuk di kenang bukan di binasakan. Sekalipun itu memalukan, menyesatkan karna seburuk-buruknya masa lalu, kita gak bisa pungkiri mereka adalah bagian sejarah dalam hidup kita. Bahwa kita pernah mengalami jatuh bangun, sejarah mencatat semuanya dan membungkus dalam kotak bernama memori. Tempatkan mereka di hati sebagai reminder kita dalam melangkah kedepan. Yang baik jadikanlah kenangan indah, yang buruk jadikanlah pelajaran berharga. Seorang teman bicara, "Del, gue mampir ke blog lo dan tanpa sengaja keasikan baca yang lama-lama. Kenapa gak dihapus aja?. Lo gak takut kalau kebaca temen-temen baru?" Hmmmm masa lalu kan bukan tato yang ketika berhijrah kita harus hapus itu tato. Lagian selama kenangan-kenangan pahit bukan lah aib, selama itu juga aku tidak merasa terganggu bila di publish.  Perihal teman baru, biarlah...... Aku tidak perduli dengan penilaian orang. Karena aku hidup bukan sekedar untuk membuat orang lain terkesan. Dengan membagi kis

Ampera Thank You





Turn around turn around turn and fix your eye in my direction So there is a connection.
Sura lagu itu seolah menusuk hatiku saat pandanganku tertuju pada laki-laki yang selama ini aku rindukan. Laki-laki yang pernah aku lukai hatinya.

I can’t speak I can’t make a sound to somehow capture your attention I’m staring at perfection
Aku mematung di depan toko musik ini saat mendapati langkahnya semakin mendekatiku. Itukah Awan ku yang ku cari.

Take a look at me so you can see how beautiful you are
Tepat saat ia menegakkan kepalanya dan menatapku lurus aku tahu aku tidak salah. Ia menatapku sekarang. Benar Awanku masih sama seperti yang dulu teduh menenangkan saat aku menatapnya. Namun ia kembali menundukan kepalanya membuat aku sedikit bergeming. Ia kembali berjalan lurus menuju pintu keluar yang letaknya dibelakangku. Ia melewatiku begitu saja tanpa sapaan apapun. Kita seperti orang asing. Seolah lagu dari toko musik itu kembali terdengar menggejekku.
You  call me a stranger
You say I’m a danger
But all this these thoughts are leaving you tonight
Benarkah kita sekarang orang asing? Dingin, itu yang kurasa saat dia berlalu. Kenapa harus seperti ini? Masihkah dia menyimpan dendam? Atau terlalu dalamkah luka yang kugoreskan dihatinya sampai tak kunjung jua membaik. “Maaf” Aku berucap dalam diam.

                                                                    ****

I’m broke and abandoned
You are an angel
Making all my dreams come true tonight.
Lagu itu masih mengalun dalam kamarku semenjak pertemuan asing tadi malam. Membuat haitiku remuk bersama penyesalan. Bisa apa aku sekarang menangispun rasanya sangat tidak berguna.
“Tar..Tari buka deh ini gue Mutia.” Aku tak sadar kalau dari tadi seseorang mengetuk pintu kamarku. Mutia? Ah, Mutia sahabatku aku lupa kalau kemarin dia minta jemput dibandara. Kita sudah membuat planning  tahun baru bersama di Jakarta. Dengan cepat aku membuka pintu kamarku. “OMG Who are you” Kata-kata itu yang aku dengar pertamakali keluar dari mulutnya. Dengan cepat ia membawaku kedepan cermin di lemari.
“Lo abis ngapain semelem? Mata bengkak, mascara beleberan. Gak bersihin make up sebelum tidur lo ya?” Mutia kembali berkeliling kamarku. “Ini lagi muterin lagu-lagu galau.” Mutia mematikan DVD Playerku dan masih saja berceloteh. “Move on dong Tar, masa dari gue balik ke Jogja tiga bulan yang lalu sampe sekarang masih aja mikirin Rangga.” Aissh siapa juga yang mikirin dia, huh miss sotoy is back. Sekarang dia duduk di atas ranjang dan menatapku. “Cuma gara-gara dia lo ngebiarin gue nunggu berjam-jam di Bandara.Terlalu!.”
Hiks..hiks.. Huuuaaaa Aku kembali menangis dan memabantingkan tubuhku ke kasur.
“Ye malah nangis lagi. Udah ah nama sama kelakuan beda banget. Lo tau kan kenapa lo dikasih nama Mentari sama nyokap lo. Supaya lo bisa bersinar kuat kayak Matahari. Ini malah galau mulu. Segala si Ranggalah yang ditangisin. Udah tahu diselingkuhin masih aja…”
“Gimana gue mau bersinar Mut, kalau Awan gue aja keliatan kelabu.” Mutia menatap jendela. “Yah namanya juga musim hujan Tar, kalau musim panas tuh baru Awannya terang.”
Huuaaaaa aku kembali terisak dan berusaha menjelaskan pada Mutia.
“Semalem gue ketemu Awan di Sency pas gue mau beli CD.”
“Awan? Ajie Rahmawan?” Aku mengganguk masih dengan isakkanku. “Terus, kalian ngobrolin apaan? Lo udah minta kontaknya? Nomor HP, atau pin BB nya gitu.” Pertanyaan Mutia semakin mengingatkan akan penyesalanku semalam yang hanya bisa mematung tanpa berkata apapun saat kami bertemu kembali setelah hampir enam bulan kami tidak berkomunikasi. “Tar, jawab Tar? Dapet gak kontaknya?” Aku hanya menggeleng sedih. “Yah, gimana sih Tar kok lo gak minta? Udah tahu kita susah banget nyari dia selama ini. Giliran ada kesempatan di depan mata malah lo sia-siain. Gue tahu lo pasti gengsi kan minta duluan. Tetep aja lo gak berubah ya Tar.”
“Awan yang ninggalin gue gitu aja Mut, kita tuh kayak orang asing yang saling gak kenal satu sama lain. Hati gue sakit banget kali ini Mut. Gue bahkan belom sempet minta maaf, kenapa sih gue sama dia harus kayak gini.”
“Karma sih Lo, dulu aj disia-siain. Lo lebih milih si Rangga yang kata lo mukanya mirip Boyband Korea itu. Dan gak ngasih si Awan kesempatan sama sekali. Padahal kan lo lebih kenal Awan luar dalem dari pada si Rangga.”
“Okey, Terus sekarang gue harus apa? Lo mau gue gimana?”
“Loh kok jadi nanya gue tanya sama hati lo lah. Lo maunya apa?”
“Gue cuma mau Awan saat ini Mut, tapi gue bingung mau mulai dari mana.”

                                                                    ****

                “Lo yakin nih Tar, kita kesini? Kalo tahu mau kesini kenapa gak dari enam bulan yang lalu aja?”
                “Gue takut sama Bang Bayu.”
                “Lah kalo dia ada gimana?” Aku hanya bisa menantap Mutia dalam tanpa berkata.
Sekarang aku dan Mutia ada di rumah orang tua Awan, di daerah Rawamangun. Aku tahu aku pasti bisa menemukanya disini tapi, aku takut kalau-kalau bertemu Bayu. Bayu adalah Abangnya Awan, dia juga yang dulu selalu jodohin aku sama Awan. Dia juga orang yang ngungkapin semua perasaan Awan terhadapku, Karena Awan tidak pernah menjelaskan secara terang perasaannya kepadaku. Walau sebenarnya aku tahu dia menyukaiku. Dan aku menutup semua inderaku untuk semua rasa yang ia tawarkan padaku dan pelan-pelan menjauhinya. Perlahan namun pasti aku menggoreskan luka tajam dihatinya. Bayu adalah orang yang paling kecewa saat tahu aku jadian sama Rangga dan gak mau lagi berhubungan sama Awan. Jujur saja saat itu aku sama sekali tak menyadari perasaan Awan, sampai ketika aku tahu. Aku justru membenci semuanya dan berusaha menjauhinya.
                “Tok..Tok..Tok..” Aku mengetuk pintu dengan rasa takut.
“Mentari.. Apa kabar kamu nak?” Bagus bukan Bang Bayu yang membukakan pitunya. “Kamu kok lama banget gak kesini tante kangen loh.”
“Siapa Ma?” Suara itu membuat kaki ku bergetar. Benar saja Bang Bayu mucul dari balik ruangan dan kami saling berpandangan sejenak. “Ini Tari, udah lama banget dia gak kesini kan Bay. Masuk-masuk Mutia juga apa kabar?” “Baik Tante.”
“Jadi..” Belom sempat Tante Ira melanjutkan ucapanya Bang Bayu segera memotong. “Jadi si Awannya berangkat duluan Tar. Kamu bawak pesanan Abang gak? Tadi Bayu yang telpon Tari mah minta di bawain buku. Ada gak bukunya tar?” Eh, ada apa ini aku dan Mutia saling berpandangan satu sama lain dengan mata terbelalak. Kami sama sekali tak mengerti apa yang dimaksud Bang Bayu.
“Oh yaudah kamu temenin dulu Bay, Mama mau buat minuman.”
“Jangan kayak orang pertama kali datang, Mama sama sekali gak tahu masalah kalian. Awan masih bilang dia berteman baik sama kamu. Kadang Mama suka nanyain kamu kenapa gak pernah lagi main kesini.” Jadi selama ini Awan masih bercerita kebaikanku pada Ibunya. Dia bahkan menutupi semua keburukan-keburukan yang sudah aku buat.
“Terus sekarang Awannya dimana Bang?”
“Ngapain lagi nanyain Awan? Semalem dia udah pergi ke Palembang katanya mau tinggal disana.”
“Hagh, Palembang ngapain? Dia tinggal dimana?”
“Dia gak bilang, Udahlah Tari kamu gak usah ganggu dia lagi biarin aja dia nyembuhin lukanya sendiri.”
“Bang, Tari Cuma mau minta maaf sama Awan. Semalem Tari ketemu dia, tapi dia sama sekali gak nyapa Tari.”
“Harusnya kamu ngerti maksud dia. Dia gak mau lagi berhubungan sama kamu. Permintaan maaf kamu biar nanti Abang yang sampaikan.”
“Kalau gitu kita minta kontaknya aja deh Bang Bayu.” Mutia bersuara.
“Dia berangkat pagi-pagi sekali, dan ini ponselnya ketinggalan.” Bayu menunjukan smart phone Awan padaku dan Mutia. Kali ini aku benar-benar pasrah. Bahkan Bayu saja Abangnya tak mengizinkanku untuk menemui Awan. Haruskah aku menutup akhir tahun ini dengan sebuah penyesalan yang teramat dalam.

                                                         ****

“Oke Mentari keep calm okay, itu Palembang kita sama sekali gak kenal Kota itu so enough.”
Aku hanya fokus membereskan baju-baju yang akan ku bawa untuk menetap di Palembang beberapa hari sampai aku berhasil menemukan Awan disana. Mutia hanya berceloteh berusaha menghentikan ide yang dia anggap gila ini. “Tar please deh elo jangan gegabah gini kita pikirin gimana jalan terbaiknya.” Mutia kembali mengeluarkan baju-bajuku dari koper. “Sekarang gue tanya lo mau nemenin gue apa gak sih Mut? Kalo gak yaudah gue jalan sendiri. Minggir!!”
                “Tar lo tau apa sih soal Kota itu. Lo gak punya sodara disana.”
                “Gue tau kok, Palembang tuh Kota Pempek. Disana juga ada jembatan Ampera yang terkenal sebagai Golden Gage nya Indonesia.” Aku kembali merapihkan koper-koperku.
                “Baca buku R.P.U.L anak SD juga tahu kalo itu Tari…. Lagian kita kan udah janji bakal tahun baruan di Jakarta. Bakar-bakaran terus melakukan ritual akhir tahun kita di Pantai Ancol seperti tahun-tahun sebelumnya. Masa lo lupa.”
“Kita tetep bakal ngelakuin ritual itu oke lo gak usah khawatir  Mut.”
“Serius… oke sebagai sahabat yang baik gue bakal temenin lo. Tapi semua akomodasi lo yang tanggung ya Tar.”

                                                                ****
                Aku tak bernah berfikir akan melakukan hal yang paling gila dalam hidupku hanya untuk meminta maaf pada seorang laki-laki. Tapi seringnya pertikaian yang selalu aku dan Rangga alami. Aku semakin membandingkan antara Rangga dan Awan. Terlalu banyak penyesalan saat ini yang kurasa.
“Aduh Mbak pakai mata dong kalo jalan.” Aku menabrak seorang wanita saat berlari menuju terminal penerbangan.
“Maaf Mbak saya tadi buru-buru. Apa ada yang sakit?” Tanyaku pada wania itu yang hanya berlalu meninggalkan ku. Persis seperti kejadaian yang aku alami bersama Rangga. Dia selalu menyalahkan ku  dalam kejadian seperti ini. Berbeda dengan Awan yang mungkin akan mati-matian membelaku. Waktu aku menabrak seseorang saat mengantri di stasiun kereta kala kami liburan ke Jogja. Awan bahkan meminta maaf pada orang yang ku tabrak dan membiarkan dirinya yang dimaki orang tersebut serta menutup telingaku agar aku tak mendengar makian orang tersebut. Penyesalan ku semakin dalam kala aku mengingat-ingat semua kebaikan Awan terhadap ku.
Sekarang pesawat ini telah lepas landas. Aku bahkan belum tahu akan kemana setelah sampai di bandara Sultan Mahmud Badharudin II Palembang. Paling aku hanya bisa menuju hotel. Aku menatap Mutia sahabatku yang tengah tertidur di sebelahku. Sepertinya perjalanan ini terlalu melelahkan baginya. Pagi tadi dia baru sampai di Jakarta sekarang sudah harus terbang ke Palembang. Aku tidak mau mengecewakannya terutama mengenai ritual akhir tahun kami. Aku harus segera menemukan Awan disana.
                                                                 ****

“Terus kita mau apa nih Tar?”
“Gue juga gak tahu Mut, yang pasti kita harus ke hotel sekarang. Taxi!!” Aku memanggil  Taxi yang lewat kemudian kami segera masuk. “Mau kemana Mbak?” tanya supir taxi itu. “Hotel Mas.” “Hotel yang saya tahu hotel sanjaya Mba, saya juga masih baru disini saya dari Jawa.” “Oke Mas gak apa Hotel Sanjaya aja.” “Seratus Ribu ya?”
“Whatttttt, pake argo dong Mas.” Mutia bereriak kaget.
“Disini taxinya gak ada yang pake argo Mbak, nembak semua.”
“Yaudah terserah Mas aja yang penting cepet sampe.” Jawabku.
                                                                             ****
Matilah aku, hotel sanjaya ini adalah hotel bintang lima. Harga satu malam nya saja cukup mengorek tabunganku. Apa harus semahal ini perminta maafku. Tak perduli yang penting tekadku sudah bulat ingin minta maaf pada Awan.
“Tidur gih Mut lo pasti capek banget kan.” Saat aku merapikan barang-barangku sebuah SMS masuk ke ponselku. Dari Bang Bayu.
B:Tar, Kamu beneran nyusul Awan ke Palembang. Abang gak tahu si Awan nginep dimana tapi kamu bisa cari di BKT Palembang kemarin dia sempet bilang bakal kesitu.”
T:Kapan dia disana bang?
B:Abang gak tahu kapan kamu coba aja dulu cari disana.
Oke nanti tari cari makasih ya Bang Bayu atas infonya.

        Aku melihat Mutia tengah tertidur pulas. Sepertinya tidak sampai hati aku  membangunkannya hanya untuk memintanya menemaniku ke tempat yang di sebutkan Bang Bayu padaku. Aku putuskan menjelajahi kota ini sendiri. Toh aku bisa naik taxi kesana. Tapi sebaiknya aku bertanya pada staff hotel mengenai tempat ini dan dengan apa aku harus kesana.
            “Mbak maaf saya mau tanya BKT ini tempat apa ya? Jauh tidak dari Hotel ini?”
“BKT itu Benteng Kuto Besak seperti tempat berkumpulnya muda-mudi Kota Palembang saat malam hari. Tempatnya tidak terlalu jauh dari sini. Mbak bisa naik taxi dari sini.”
“Oh, gitu ya? Baiklah terimakasih Mbak.”
Tetap saja taxi adalah transportasi yang di rekomendasikannya padaku. Tapi kali ini aku harus mencari blue bird atau taxi yang menggunakan argo. Benar saja saat mendapati blue bird melintas di lobi hotel aku segera menaikinya.
                “Kemana Mbak?”
                “BKT Pak.” Jawab ku ragu. Sopir itu menjawab “Oke.” Dan tersenyum padaku.
Perjalanan terasa sangat wajar tak seperti di Jakarta yang pasti kemacetan diman-mana. Sampai akhirnya mobil ini berhenti di tepi jalan. “Sudah sampai Mbak ini tempatnya.” Aku melihat sekeliling.
“Ini BKT pak?” Tanyaku sedikit kagum pada tempat itu.
“Iya ini BKT Mbak. Tapi kalau malam nanti pasti ramai dan indah karena dari bawah sini kita bisa lihat lampu-lampu menghias jembatan Ampera.” Supir itu tampak menjelaskan padaku yang hanya bisa mengangguk – anggukan kepala menatap kesana kemari.

Aku berjalan menyusuri tempat luas itu. Saat ini aku berada di seputar sungai musi. Aku melihat ada beberapa restoran terapung dari kejauhan di atas sungai ini. Indah, aku pernah melihat tempat seperti ini di Thailand. Tapi ternyata tanah airku sendiri memiliki tempat tak kalah indahnya. Aku terus berjalan menikmati udara sore ditengah-tengah penduduk Palembang yang menggunakan Bahasa sehari hari mereka. Yang terdengar seperti Bahasa melayu yang tegas. Tanpa terasa waktu sudah menunjukan pukul tujuh malam. Saat lampu-lampu sekeliling mulai menyala aku belum juga bertemu dengan Awan disini. Karena mendapat begitu banyak pesan dan miss call dari Mutia. Aku memutuskan untuk kembali segera menuju Hotel. 
                                                        *****

“Tari lo dari mana aja gue cari-cari juga? Lo ninggalin gue sendiri dikamar.”
“Tadi gue habis dari BKT.”
“BKT? Apaan tuh banjir kanal timur? Ada juga di Palembang?”
“Apa sih, BKT itu benteng kuto besak Mut. Mut Palembang waktu malam tuh keren juga loh elo harus liat deh.”
“Masa sih? Tapi yang gue tahu makanannya unik dan enak loh Tar. Tadi gue makan donat pake kuah bakso. Lo harus cobain deh. Tapi namanya agak aneh gitu model gendum.” Mutia mengacungkan dua jempolnya.


Aku hanya mengerenyitkan keningku tak mengerti yang Mutia ucapkan yang pasti sekarang harus meminta agar Mutia mau.. “Lo udah mesen tiket balik belom Tar, besok tanggal 31 tuh. Kita kan mau tahun baruan di Ancol.” Itu yang ku maksud bagaimana carannya agar Mutia tidak meminta pulang ke Jakarta sedang aku masih belum bertemu Awan disini.
                “Mut, tahun baruan di sini aja yuk?”
                “Ngak ah gue mau liat Pantai.”
                “Gak bosen liat Pantai mulu Mut? Sungai aja ya sekali-kali.”
              “Ogah.” Mutia berlalu meninggalkanku. Namun aku  tak gentar bernegosiasi denganya.        “Gue teraktrir pempek deh.. Belom nyobain kan lo. Tenang gue teraktir.”
                No.” Mutia berusaha mencari tiket penerbangan secara online lewat smart phone nya.
                “Oke, Lo booking aja satu, gue bakal tahun baruan disini.”
                “Ah, elo mah gitu gak konsekuen deh.”
“Bukan gitu Mut, elo tahu gak kenapa resolusi yang kita buat tiap tahun itu selalu hanya terjadi 30%.”  Mutia menggeleng. “Itu karena kita selalu melakukan di tempat yang sama.”
“Ah kata siapa lo. Gak ada ini paling akal-akalan lo doang biar gue gak balik kan.”
“Lo bakal nyesel gak sempet liat tempat nongkrongnya anak muda di Palembang. Pulang aja duluan.”
“Ah elo mah gitu sih gak setia kawan banget. Yaudah tahun baruan disini kita. Sambil nyari tuh si Awan. Tapi elo harus teraktir gue kuliner di kota Palembang.”
“Gue ajak elo ke restoran terapung kayak di Thailand.”
“Emang ada?” Aku hanya melempar senyum menyombongkan diri didepannya.
                                        
                                                                ****
“Sebenernya si Awan itu dimana sih Tar?”
“Gue juga gak tahu. Yang pasti malam ini kita terakhir disini. Pagi-pagi sekali kita check out dari tuh hotel. Gue pengen aja ngerayain malam tahun baru di tempat yang sama kayak Awan. Gak tahu kenapa yang pasi gue yakin Awa nada disini. Lagian Bang Bayu juga gak mungkin bohongin kita. Dia sempet sms gue nanyain gue apa bener nyusul Awan ke Palembang. Dia kaget aja dan bilang kalo Awan sebenernya sama temen-temenya ngerayain tahun baruan di Palembang.
“Oh.. terus kalau sampai besok pagi kita gak nemuin Awan? Gimana?”
“Yah kita pulang lah, gila besar banget biaya kita nginep di hotel bintang lima gitu. Bangkrut gue.”
“Tapi kalau gue nambah ini belum bangkrut kan?” Mutia menunjukan piring kosong bekas tekwan nya padaku dan meminta satu porsi lagi. “Hmmm Okeylah.. hahaha”
Makanan dikota ini sungguh luar bisa lezat hampir semuanya terbuat dari ikan mungkin karena banyak nya sungai di Kota ini. Hari ini pagi-pagi sekali aku sudah berkeliling di kota ini. Bahkan aku menaiki Transmusi. Atau yang lebih dikenal dengan Busway di Jakarta. Harganya sih lebih mahal dari pada Jakarta tapi penghuninya tak sepadat Jakarta. Jujur saja mengitari Kota ini mataku hanya mencari-cari sosok Awan yang sama sekali tak aku temui. Apa Bang Bayu tak berusaha mengatakan pada Awan kalau aku berada di Palembang saat ini. Ah, tapi kalau tahu juga apa yang akan Awan perbuat. Masih membekas dingin matanya yang menatapku seolah aku ini orang asing yang sama sekali tak pernah dikenalnya. Semudah itukah rasa sayangnya lutur kepadaku. Sudahlah dalamnya sungai Musi mungkin bisa diukur tapi siapa yang bisa mengukur dalamnya hati manusia.

“Wihh ini sungai Musi Tar? Panjang juga ya?” aku tersenyum melihat Mutia yang terkagum kagum melihat pemandangan kala kami menginjakan kaki bersama sore itu disana. Udara yang sangat indah dan tak seperti kemarin saat aku pergi sendiri kesini. Hari ini pengunjung sudah ramai dari sore. Mungkin karena nanti malam adalah malam pergantian tahun. Disana aku lihat kesibukan orang-orang memasang lampu-lampu pada panggung yang sudah hampir berdiri jadi. Sepertinya sama saja seperti di Jakarta. Ya, anggap saja ini panggung acara yang selalu di adakan di Ancol.
“Iya emang panjang Mut. Terus kalu kita naik perahu  ke ujung kita bakal sampe di Pulau Kemarao.” “Pulau apan tuh?” Mutia bertanya memotongku cepat. “Mane gue tahu gue belom kesana kali.”
“Terus mana restoran terapungnya Tar?”
“Di sana.” Aku menunjuk arah bawah jembatan Ampera. “Tapi kita harus naik perahu Mut.”
“Serius naik perahu? Ih seru banget, Mau dong..” Mutia menarik-narik tanganku. Yah begini kalau gadis Kota masuk Daerah apa-apa aja jadi hal baru.
                                                                  ****

“Ah I’m so Full.”
“Iyalah, pindang seafood masuk semua ke perut kita Mut.” Ucapku mengelus perut ku yang tampak buncit dari sebelumnya.”
“Itu tadi durian sambel apa namanya Tar? Tempayan?”
“Tempoyak Mut. Tempayan mah suaminya nyi Iteng atuh.”
“Kabayan kali Tar.. Hahaha Palembang seru ya, Naik deh timbangan gue.”
Bahagia ya, kalau melihat orang yang kita sayang bahagia. Aku sayang sama Awan. Aku mau melihatnya bahagia, ceria seperti Awan yang selalu cerah secerah Mentari. Sayangnya aku sudah mengukir mendung pada Awan itu. Sehingga hanya kelabu yang terlihat.

Hari semakin gelap dan kami masih berada di tempat ini. Di Benteng Kuto Besak. Mutia keliatan senang sekali. Dia mengabadikan banyak gambar dan yang paling sering membelakangi jembatan Ampera yang sungguh indah dengan kilauan lampu-lampunya. tanpa terasa waktu sudah hampir menunjukan pukul 00:00 WIB. Harapan ku sudah hampir habis memutari tempat sebesar dan seramai ini tanpa menemukan yang aku cari sungguh membuatku patah semangat.
“Tar, Abang tukang balon gas mana nih? Bentar lagi udah mau tahun 2014.” Mutia menarik paksa aku yang sebenarnya sudah malas berjalan. Tapi ritual akhir tahun kami harus segera di laksanakan. Membuat Resolusi tahun baru. Mungkin semua orang pasti melakukan ini. Tapi hanya saja cara kami yang sedikit berbeda.
“Tar, itu Tukang balon gas ayok smaperin.”
Kita selalu menyediakan balon gas. Dan kita akan menuliskan semua resolusi kita untuk tahun yang baru ini pada sebuah kertas memo. Kemudian menggantungkan nya pada benang balon gas tersebut. Lalu melepasnya terbang jauh ke atas langit. Membiarkanya mendarat di rumah Tuhan. Berharap Tuhan membaca memo itu lalu mewujudkan semua resolusi kita berdua. Aku dan Mutia. Entah mengapa kami menyebutkan itu ritual wajib. Meski terdengar seperti sebuah dongen anak TK. Tapi kita berdua yakin apapun itu bentuknya semua permintaan adalah sebuah do’a yang pasti di dengar oleh sang pencipta.
                “Okey lets Write.” Mutia mulai menulis semua resolusinya ditahun depan. Begitupun aku. Namun apa yang akan ku minta? Aku hanya menuliskan sebuah pesan pendek.
                “Lah kok dikit banget sih? Biasanya kita nulis 12 resolusi sesuai jumlah bulan dalam satu tahun.”
                “Gue Cuma pengen Awan Mut.” Air mataku menetes tak sengaja. Mengiringi kepergian Balon gas yang sudah kulepaskan.
                “Balonya Mentari… Tolong sampein pesannya untuk Awan ya!!!!”
                “Mut lo apaan sih? Malu tahu diliat orang.” Aku menyikutnya yang baru saja berteriak melepas balon miliknya itu. “Biarin aja gak kenal ini.” Kami kembali menatap kedua balon itu terbang menjauh, namun balonku tiba-tiba tersangkut tepat di jembatan Ampera sedang punya Mutia terbang bebas ke langit. “Yah..yah nyangkut Tar punya elo.”
                “Iya.. iya ayok samperin ah.” Aku berlari memutar mencari jalan untuk naik ke jembatan ampera. Berkejar-kejaran kalau saja balon itu ternyata sudah lepas dari sangkutannya. Ternyata dia tidak terlepas tetapi diambil seseorang yang merasa tertarik dengan balon berwarna merah itu. Laki-laki itu membaca memo ku untuk Awan.
                Tuhan aku ingin bertemu dengan Awan saat ini. Aku ingin minta maaf padanya. Mengembalikan lagi senyumanya. Karena sejujurnya sebuah Mentari selau berlindung di balik Awan-Awan putih sehingga menjadi lukisan langit yang sempurna. Aku mau kesempurnaan itu aku rasakan kembali. Awanku kembalilah bersama Mentarimu.
                “Mas gak sopan banget sih itukan punya kita kok dibaca.” Tegurku padanya.
Tapi Laki-laki berhoodie merah itu tak bergeming seperti menyadari sesuatu ia berusaha berbalik perlahan.
                “Ini punya kamu?”
                “A..wan kemana aja…” Belum selesai Mutia bicara aku berlari memeluknya. Tak perduli apa yang ada di dalam fikiranya saat ini. Akau tak mau kami berdua seperti Stranger saat di mall waktu itu. Aku menangis terisak dibalik dadanya. Memukul-mukul  lengannya tak bertenaga.
                “Maafin aku Wan, Maafin aku.” Hanya itu yang aku katakana berulang kali padanya.
              “Tari, kenapa?” Awan melepaskan peluku. Dia menatap wajahku yang sudah dibanjiri air mata. Aku masih terisak dengan kata-kata maafku. Tak berkata Awan membawaku kembali dalam pelukan hangatnya. Bahkan semakin erat dan dalam. Kurasakan tanganya membelai kepalaku berulang kali. Tak kutanggapi teriakan Mutia yang mengucapkan “Happy New Year” serta dentuman-dentuman kembang api yang berkilauan diatas langit. Karena keindahan sejatinya adalah bertemu dengan Awanku. Yang tak akan pernah lagi aku tinggalkan. Terimaksih Tuhan, dan sedikit ucapan terimakasih untuk tiang pegangan jembatan ini yang membuat balonku tersangkut.
“Thank You Ampera.”


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Doa jika kucing hilang

Hi.. Kali ini dengan penunuh semangat bercerita.Ngga kayak kemaren yang menderu penuh air mata. Aku mau sharing tentang pengalaman spiritual ku dengan sang pencipta nih.  Dua hari yang lalu aku cerita kalo Brondie kucing ku hilang, oopss dibuang tepatnya. Soalnya dia kena scabies. Karena binggung terus orang rumah juga udah ada yang ketuleran jadinya mama bilang buang aja. Untuk mencegah dia gak balik lagi aku buang dia jauh menyebrangi sungai (BKT). Jaraknya dari rumah aku itu kira-kira 2KM lah. Waktu itu juga abis subuh jadi masih gelap. Pas dibuang kita pulang ke arah Barat, dan sempet liat Brondie muter ke Timur, jadi kita saling lawan arah. Sampe di rumah ada perasaan nyesel banget. Kepikiran dia yang manja banget itu harus berada di luaran dengan penyakit gatel-gatel itu. Gak kebayang tar mukanya luka-luka dimana-mana. Alhasil aku cuma bisa nangis sejadi-jadinya. Seharian udah lebih dari ditinggal mati suami aja LOL.  Mama sama abang kesian jadi beliin gantinya yan

Don't Remove Your Past

Masa Lalu itu untuk di kenang bukan di binasakan. Sekalipun itu memalukan, menyesatkan karna seburuk-buruknya masa lalu, kita gak bisa pungkiri mereka adalah bagian sejarah dalam hidup kita. Bahwa kita pernah mengalami jatuh bangun, sejarah mencatat semuanya dan membungkus dalam kotak bernama memori. Tempatkan mereka di hati sebagai reminder kita dalam melangkah kedepan. Yang baik jadikanlah kenangan indah, yang buruk jadikanlah pelajaran berharga. Seorang teman bicara, "Del, gue mampir ke blog lo dan tanpa sengaja keasikan baca yang lama-lama. Kenapa gak dihapus aja?. Lo gak takut kalau kebaca temen-temen baru?" Hmmmm masa lalu kan bukan tato yang ketika berhijrah kita harus hapus itu tato. Lagian selama kenangan-kenangan pahit bukan lah aib, selama itu juga aku tidak merasa terganggu bila di publish.  Perihal teman baru, biarlah...... Aku tidak perduli dengan penilaian orang. Karena aku hidup bukan sekedar untuk membuat orang lain terkesan. Dengan membagi kis

Doa Untuk Yang Sedang Terlilit Hutang

Assalamualaikum readers semua.. Kalau sudah sampai pada postingan ini artinya temen-temen semua lagi ada dalam masalah hutang piutang pastinya. Gak apa temen-temen sekalian, tidak usah malu jika punya hutang. Malu lah jika tidak bisa membayar hutang. Karena dalam islam, perkara hutang ini bukan perkara kecil. Pada saat manusia telah meninggal, hutang adalah perkara pertama yang di munculkan. "Jika ada hutang-piutang silahkan hubungi keluarga ybs" kalimat itu kerap kita dengar saat yang punya hutang telah meninggal.Itu sebab hutang bukan lah perkara ringan. Saya mau berbagi pengalaman mengenai hutang semoga bisa menjadi manfaat bagi teman semua. Dahulu sekitar April 2016 saya pernah terlilit hutang (kreditan) dalam kasus ini, saya adalah pihak yang didzalimi. Seseorang (Si Pulan) telah berhutang atas nama saya pada perusahaan leassing. Pada saat itu saya hanya bisa berpositif saja dan 100% sungguh sungguh niat hanya ingin membantu si pulan. Bulan pertama, bulan kedua