Masa Lalu itu untuk di kenang bukan di binasakan. Sekalipun itu memalukan, menyesatkan karna seburuk-buruknya masa lalu, kita gak bisa pungkiri mereka adalah bagian sejarah dalam hidup kita. Bahwa kita pernah mengalami jatuh bangun, sejarah mencatat semuanya dan membungkus dalam kotak bernama memori. Tempatkan mereka di hati sebagai reminder kita dalam melangkah kedepan. Yang baik jadikanlah kenangan indah, yang buruk jadikanlah pelajaran berharga. Seorang teman bicara, "Del, gue mampir ke blog lo dan tanpa sengaja keasikan baca yang lama-lama. Kenapa gak dihapus aja?. Lo gak takut kalau kebaca temen-temen baru?" Hmmmm masa lalu kan bukan tato yang ketika berhijrah kita harus hapus itu tato. Lagian selama kenangan-kenangan pahit bukan lah aib, selama itu juga aku tidak merasa terganggu bila di publish. Perihal teman baru, biarlah...... Aku tidak perduli dengan penilaian orang. Karena aku hidup bukan sekedar untuk membuat orang lain terkesan. Dengan membagi kis
[Minjun]
Hari ini aku merasa menjadi pria paling buruk sedunia.
Seorang wanita tulus memberikan sepenuh hatinya untukku tapi aku malah
menolaknya. Aku tahu betul apa yang Dongmi rasakan saat ini. Tapi apa yang bisa
dilakukan manusia biasa sepertiku. Rasa itu pernah ada, saat kami tumbuh besar
bersama. Tapi aku tak punya waktu saat itu untuk memikirnkannya di tengah
masalah keluargaku yang rumit. Aku harus fokus terhadap cita-citaku dan bukan
memikirkan urusan cinta monyet kami. Lagian aku juga tak bisa membedakan antara
cinta dan sayang, Jauh sebelum aku mengenal Chieun. Setelah itu semuanya
berubah. Aku mencintai gadis ini, dan dengan mudah melupakan gadis kecilku Kang
Dongmi. Sejak saat itu aku tahu perasaan itu berbeda.
Dua tahun lalu aku bertemu dengan Chieun. Dia gadis yang
manis dan menyenangkan. Dia selalu membuat dukaku jadi tawa, Letih ku menjadi
tenaga, hariku menjadi berwarna. Aku bukan seorang pria yang romantis yang bisa
berkata-kata layaknya pujangga. Tapi jika memikirkannya semua mengalir begitu
saja.
Bip..bip..[Text
massage]
“Oppa, jalyeo?” Chieun tak pernah lupa sekalipun mengirimkan
pesan padaku, hanya untuk memastikan aku sudah makan atau belum, aku sudah
tidur atau belum, aku sedang apa. Hal-hal kecil yang membuat aku selalu
memikirkannya. Hubungan kami memang belum begitu lama, tapi aku sudah tahu akan
kemana arah hubungan kami berjalan.
“Ajik, Hari ini aku lelah sekali. Bagaimana pulau Jeju? ”
“Bagus sekali. Ini pertamakalinya aku ke sini. Eomma juga
menyukai hotel yang kau pesankan.”
“Baguslah, besok aku dan eomma akan berangkat pagi sekali
supaya sebelum makan siang kami sudah berada disana.”
“Oh, geurae. Sekarang tidurlah. Saranghae.”
“Nado Saranghae :*”
Pagi itu aku dan Ibu bersiap menuju bandara Gimpo untuk terbang ke Jeju. Ibu antusias sekali begitu juga denganku.
“Minjunah, apa kau menyediakan hotel yang bagus untuk calon
isteri dan ibu mertuamu?”
“Geuromyeon eomma.”
“Aku menyukai Chieun, pastikan keluarganya juga menyukaimu.
Hah, aku sangat khawatir.”
“Konjong hajimarayo eomma. Semuanya akan berjalan lancar.
Aku sudah sering bertemu Ibu Chieun. Beliau juga sangat baik. Kalian pasti akan
cocok.”
Aku terus meyakinkan Ibu ku agar tak cemas sedikitpun
mengenai acara pertunangan kami. Dari dulu ibu selalu berpesan jika aku
mempunyai banyak uang, bahagiakanlah pacarmu. Jika sudah menikah bahagiakanlah
isterimu. Bahkan Ibu rela untuk di nomor duakan. Karena dia tak ingin wanita
lain merasakan apa yang ia rasakan.Untuk itu aku memesankan Hotel terbaik untuk
Chieun dan keluarganya. Aku juga tak akan mungkin menyakiti Chieun, tepatnya
aku tak akan mungkin menyakiti wanita. Mengingat Ibuku seorang single parents. Dia membesarkanku
seorang diri. Dan di Seoul kami tidak punya keluarga dekat, selain samcho ku
yang sudah lama meninggal. Jika aku dan Chieun menikah nanti, Ibu pasti tak
akan kesepian lagi.
Sesampainya di pulau Jeju aku langsung menuju hotel bintang
lima tempat Chieun dan keluarganya menginap. Dari Jauh aku melihat sosok gadis
pujaanku berdiri dengan balutan gaun berwarna broken white. Dia sangat cantik sekali. Ku dratakan ciuman selamat
datang di keningnya.
“Oppa, jaljineyeo?”
“Menurutmu aku bagaimana sudah di tinggal tiga hari?”
“Hmm Mianhae, Eommonim eodigaseyo?”
“Tadi dia… ah ini dia. Apa toiletnya jauh?” Aku bertanya
pada ibuku yang baru saja datang.
“Eommonin annyeong haseyo. Eosseoseyo”
Chieun memeluk ibuku
dan mempersilahkannya duduk. Jelas saja ibuku menyukai gadis ini. Tak ada
alasan lain untuk tak menyukai gadis cantik dan juga sopan ini. Chieun juga
hanya di besarkan oleh Ibunya. Makanya dia tahu betul bagaiman harus bersikap
kepada seorang Ibu.
“Neo eommonim eodigaseyo?” Kali ini aku yang bertanya.
“Ah, Tadi dia juga ke toilet.”Chieun sibuk menantap lorong
toilet dari meja makan memastikan ibunya sudah kembali apa belum. “Kenapa lama
ya? Mungkin dia kembali ke kamar, aku akan menyusulnya dulu. Eommonim sebentar
aku memanggil Ibu dulu ya.” Ucapnya pada ibuku.
Ibu ku hanya mengganguk, tapi ada yang aneh dari raut wajah
ibuku sekembalinya dari toilet. Kenapa mendadak seperti orang yang mau
menangis. Apa dia sedih anaknya akan menjadi suami orang. Biasanya dia selalu
senang bertemu dengan Chieun.
“Eomma gwaenchanayo?” Dia sama sekali tak menjawab hanya
menatapku pahit. “Museun iriya eomma? Neo waegeurae?” Apa yang terjadi kenapa
dia tiba-tiba saja bersedih disaat-saat seperti ini.
Belum selesai Ibuku menghapus air matanya Chieun dan Ibunya
datang, aku khawatir Ibu Chieun akan tersinggung dengan sikap Ibuku yang
tiba-tiba saja aneh seperti ini.
“Annyeong haseyeo eommonim” Aku menyapa calon mertuaku
hangat. Begitupun juga denagnya. Ku bantu Ibuku berdiri dari duduknya agar
sama-sama bisa menyapa namun sesuatu yang sama sekali tak pernah kubayangkan
terjadi.
Dalam diam mereka berdua saling menatap. Senyum yang tadinya
tersimpul tiba-tiba saja berubah menjadi marah. Kau..Kau.. hanya kata-kata itu
yang keluar dari mulut keduanya sambil menunjuk satu sama lain. Pemandangan apa
ini? Kenapa jadi seperti ini, apa yang terjadi. Ibuku membuka suara.
“Jadi wanita ini Ibu mu Chieun ssi?” Aku melihat Chieun
mengganguk ragu.
“Minjun, kka..!” Ibuku menarik tanganku.
“Eomma waeyo? Kita belum bicara dengan..”
“Dengan siapa? Dengan perempuan jalang itu?” Ibuku menunjuk
Ibu Chieun. Aku dan Chieun menatap Shocked sesaat.
“Jalang katamu, kau lah yang jalang!!” Chieun berusaha
menghentikan Ibunya.
“Kau pasti menyukai Minjunku kan, iya jelas saja. Aku tak
sudi punya menantu dan besan seperti kalian. Ibunya jalang, pasti anaknya juga
jalang.”
“Eomma geumanhae” teriaku.
Byyuurrr… Ibu Chieun menyiram ibuku dengan air minum. Semua
pengunjung restoran hotel memandang kami skeptis, seolah mereka sedang menonton
adegan drama.
“Eomma apa yang kau lakukan.” Chieun menghentikan ibunya.
“Sampai mati aku juga tak sudi punya menantu macam anak mu.
Sifat ayahnya pasti menurun kepadanya.”
Setelah kata-kata itu keluar dari mulut
Ibu Chieun—Chieun segera menariknya pergi dari kami. Begitupun aku, tak mau
menjadi tontonan public siang itu aku langsung membawa ibuku yang basah kuyup
keluar hotel. Menuju mobil aku bermaksud membawanya ke Hotel lain.
“Eomma gwaenchanayo?” Hari ini aku masih merasa menjadi pria
paling buruk setelah menolak Dongmi, karena membiarkan orang yang aku sayangi
terguyur air dan menjadi tontonan public. Ku bersihkan tubuh Ibuku dengan tisu,
ku hapus air matanya yang terus keluar. Dari kata-kata yang kudengar tadi, aku
menangkap semua pasti ada hubungannya denan ayahku. Kenapa Ibu Chieun
menyinggung hal itu jika tanpa alasan. Sampai mati aku tak mau disamakan dengan
pria itu.
“Na jigeum yeogi shireoyo! Cepat kembali ke Seoul sekarang.”
Melihat Ibuku berkata demikian, aku berfikir dia pasti punya alasan. Aku tak
mau menodongnya dengan sejuta pertanyaan di benakku. Yang terpenting saat ini
adalah membuatnya tenang dan nyaman.
“Geurae, kkaja.” Kubaringkan kepala ibuku dipundakku. Saat
itu juga kami kembali ke Seoul.
***
Setelah hari itu aku susah sekali menghubungi Chieun. Hanya
sebuah pesan yang dia kirimkan yang menyatakan bahwa hubungan kami harus
berakhir sampai disini. Chieun tak menjelaskan apapun alasan di balik kandasnya
hubungan kami. Dia hanya berkata mintalah penjelasan dari ibumu. Tapi sampai
detik ini Ibu ku belum bercerita setelah pertunangan ku kemarin batal. Akupun
segan bicara dengan beliau, yang terlihat tidak dalam mood yang baik. Hanya berada
di dalam kamrnya seharian.
“Minjun ya.” Ibuku datang menghampiriku saat aku tengah
menikmati latte di halaman belakang. Ku bukakan kursi agar dia duduk bersamaku
menikmati hangatnya latte di sore hari bersama.
“Eomma-ga Daegureul dorawatta.” Tiba-tiba ibuku membuka
suara. Ibuku tiba-tiba saja meminta pulang ke kampung halamanku. Ini pasti ada
kaitannya dengan kejadian kemarin.
“Wae kkamcaki eomma? Museun…”
“Eomma mianhae Minjunya..”Ibuku memotong pembicaraanku. Ku
tatap wajahnya yang ingin menceritakan sesuatu. “Biar bagaimanapun kau dan
Chieun tak bisa bersama.” Ibuku melempar pandang padaku.
“Waeyo?” Ibu menarik nafas panjang sebelum kembali bicara.
“Kalian berdua adalah saudara.” Mataku membesar mendengar
pernyataan tersebut. Kami berdua bersaudara? Bagaimana bisa. “Wanita itu, Kang
Minjoong.” Ibu menyebutkan nama ibunya Chieun. “Dia pergi meninggalkan kita
demi wanita itu.” Ibuku mulai menjatuhkan air matanya.
Oke cukup aku mengerti semuanya. Saat aku masih duduk di
bangku sekolah dasar aku menggingat samar-samar hari itu ayah dan ibu
bertengkar hebat. Ayah membawa seorang wanita kerumah. Aku yakin jika wanita
itu adalah Kang Minjoong ibunya Chieun tanpa tahu apa yang terjadi tiba-tiba
ayah pergi meninggalkan kami berdua saat itu dan tak pernah kembali hingga
sekarang. Ibu harus mati-matian membanting tulang menyekolahkanku sampai
akhirnya dia sudah tidak sanggup lagi dan mengirimku ke Seoul tinggal bersama
pamanku, yang membantu biaya sekolahku. Sejak saat itu aku tak pernah
menyinggung masalah laki-laki yang sudah menelantarkan kami hanya demi
perempuan lain. Itu hanya mebuka luka lama bagi ibu dan membuatnya sedih. Aku
tak mau melakukan itu.
“Kang Minjoong adalah..”
“Geumanhaseyo eomma. Aku tidak mau mendengar cerita itu
lagi. Hanya kenapa harus kembali ke Daegu?” Aku bersumpah tak mau melihat Ibu
menceritakan detail luka lama itu.
“Ibu tak mau tinggal satu kota bersama wanita itu. Seoul tak
cocok untuk ibu. Sekian lama ibu mengubur dalam-dalam kisah itu, tapi tiba-tiba
saja terbuka kembali bahkan disaat yang tidak disangka-sangka. Ibu sungguh
minta maaf denganmu.”
“Kalau itu yang ibu mau baiklah. Apapun yang membuat ibu
nyaman lakukan saja. Aku tak mau melihat ibu bersedih.”
Ku peluk sosok wanita
yang tak lagi muda itu. Mungkin aku juga akan kembali ke Daegu bersamanya. Dan
membuka kantor cabang untuk bisnisku disana. Aku juga tak mau berlarut-larut,
Seoul menyimpan banyak kenangan bersamaku dan Chieun yang harus ku buang
jauh-jauh.
***
“Semoga bisnisku akan lancar disana dan bisa sebagus di
Seoul.” Ucapku pada sahabatku yang mengantar kami ke bandara.
“Baik-baik disana, tak usah memikirkan soal bisnis urus saja
Ibumu dulu.” Nichkhun memelukku.
“Oh, iya. Jaga Dongmi baik-baik.” Nichkhun hanya melempar
senyum mendengar pesanku barusan. Lalu kami berpisah di bandara.
Kita hanya bisa berusaha tapi tidak menentukan hasilnya.
Cinta yang ku bangun selama ini bersama Chieun harus berakhir bahkan dengan
jalan tak terduga seperti ini. Apa ini sebuah balasan karena aku melukai hati
seseorang makanya saat ini aku merasakan luka yang sama juga? Tapi memikirkan
kenangan-kenangan yang kami bingkai selama ini membuat tulangku nyeri. Aku
berpacaran dengan adik tiriku sendiri. Bagaimana dunia bisa begitu mudah
mempermainkan kami.
Aku tak akan meminta penjelasan apapun dari Chieun.
Sepertinya dia juga paham kondisi diantara kami. Bagus semuanya terbongkar
sebelum kami semakin jauh. Cukup aku terlibat dalam sebuah cinta terlarang
tanpa restu orang tua seperti saat ini. Apa yang terjadi di kemudian hari
biarlah tuhan yang menggaturnya untukku. Aku harap aku tak kan bertemu dengan
Chieun—Chieun lain di luar sana.
-End-
Komentar
Posting Komentar