Masa Lalu itu untuk di kenang bukan di binasakan. Sekalipun itu memalukan, menyesatkan karna seburuk-buruknya masa lalu, kita gak bisa pungkiri mereka adalah bagian sejarah dalam hidup kita. Bahwa kita pernah mengalami jatuh bangun, sejarah mencatat semuanya dan membungkus dalam kotak bernama memori. Tempatkan mereka di hati sebagai reminder kita dalam melangkah kedepan. Yang baik jadikanlah kenangan indah, yang buruk jadikanlah pelajaran berharga. Seorang teman bicara, "Del, gue mampir ke blog lo dan tanpa sengaja keasikan baca yang lama-lama. Kenapa gak dihapus aja?. Lo gak takut kalau kebaca temen-temen baru?" Hmmmm masa lalu kan bukan tato yang ketika berhijrah kita harus hapus itu tato. Lagian selama kenangan-kenangan pahit bukan lah aib, selama itu juga aku tidak merasa terganggu bila di publish. Perihal teman baru, biarlah...... Aku tidak perduli dengan penilaian orang. Karena aku hidup bukan sekedar untuk membuat orang lain terkesan. Dengan membagi kis
[Chieun]
Aku kira hanya sebuah drama
yang menyajikan cerita-cerita tak masuk akal, seperti seorang yang hanya
tinggal hitungan hari saja yang hendak menikah namun tiba-tiba cinta pertama
hadir dan menggagalkan pernikahannya. Tapi ceritaku ini lebih parah dari itu.
Minjun adalah saudara tiriku. Bagimana mungkin dia anak dari Kim DaeJoong pria
yang sudah meninggalkan aku dan Ibu.
Saat masih muda Ibu terpisah dengan kekasihnya. Namun saat
mereka bertemu lagi pria itu sudah memiliki Isteri, bahkan seorang anak yang
masih kecil. Ibu di ajak menikah karena pria itu mengaku tak bisa hidup tanpa
Ibu. Juga kesalahan terbesarnya adalah tidak bisa menikahi Ibu. Saat Ibu
bersedia, ternyata isteri pertamanya menolak untuk dimadu. Aku juga tak habis
pikir kenapa Ibu mau saja diajak menikah dengannya. Kata Ibu itu yang dinamakan
jodoh, meski lama berpisah pasti akan bertemu kembali. Lalu bagaimana dengan
isteri pertamanya? Apa mereka tidak berjodoh karena akhirnya harus terpisah,
entahlah. Mungkin sama sepertiku dan Minjun. Pertamakali Ibu menceritakan
kebenaran ini aku shocked sekali akau
merasa Ibu merebut kebahagian orang lain, tapi aku tak bisa berbicara banyak
jika semua mengatas namakan cinta. Apa ada di dunia ini orang yang mau hidup
bersama selamanya tanpa ada cinta? Kalaupun ada entah akan seperti apa rasanya
kebersamaan itu.
Awalnya aku kira rasa itu akan ada jika dipupuh setiap hari.
Itulah yang aku rasakan saat bersama Minjun. Tapi entah kenapa rasa yang sudah
lama dibangun itu bisa menghilang tiba-tiba hanya karena hal sepele ini. Kami
berdua harusnya masih bisa menikah. Memang ada apa dengan saudara tiri? Yang
jadi masalah hanya kedua orang tua kami yang tak setuju. Makanya hubungan ini
tak akan bisa berlanjut. Tak satupun dari kami juga berusaha untuk mempertahankannya.
Dan aku bingung kenapa mudah bagiku untuk merelakan Minjun begitu saja.
“Chieunah, mianhae. Kau pasti lama menungguku.” Suara itu menggagetkanku
dari lamunan panjang saat aku duduk menunggunya di sebuah café. “Yak..yak..yak museun
iriya? Kenapa bisa sampai batal acaranya?” Sahabatku ini selalu bersimpati pada
masalahku. Dia orang pertama yang selalu mendengarkan semua ceritaku tapi aku
selalu benci mendapat simpati dan masukan darinya. “Yak, Apeuji.. na arayeo.
Tapi hidup harus terus berjalan kan.” Ucapnya sembari menyeruput yogurt ku.
Apeuji katanya.. tahu apa dia tentang perasaanku beraninya bilang kalau itu
sakit. Apa dia benar-benar tahu apa yang aku rasakan saat ini. Aku jamin 100%
dia tak tahu.
“Yak, neo… Kau kan bisa pesan kenapa harus meminum punyaku
Chansungah…~”
“Wae.. aisss setiap wanita yang gagal menikah pasti selalu sensitif
sekali.”
“Yak jaga ucapanmu kenapa bicar begitu kencang, disinkan
banyak orang yang dengar.”
“Jeosseohamnida” Ucapnya formal menundukan kepala. “Lalu
kenapa? Apa yang terjadi?”
“Ternyata Minjun adalah kakak tiriku.”
“Daebak!! Bagaiman bisa?”
“Seperti yang pernah aku ceritakan padamu, ternyata dia anak
dari ayahku bersama isteri pertamanya.” Chansung hanya menggeleng tak percaya. “Kata
Ibu, Minjun oppa pasti punya sifat seperti ayahku yang nantinya akan
meninggalkan aku dan ibu juga demi wanita lain.”
“Harusnya Ibumu jagan befikir begitu. Tidak semua laki-laki
itu sama. Aku lihat Minjun hyung orang yang baik.”
“Molla.”
“Sudah jangan bersedih, masih banyak laki-laki di dunia ini.
Seoul masih luas haha” Tawanya selalu membawa angin segar dihatiku.”
“Kalau sampai usia 30 aku masih belum menemukan laki-laki
yang cocok, aku akan menikahimu.” Ucapku Frontal.
“Geurae.. gwaencana. Tapi kau harus siap menjadi isteri
kedua ku. Hahahaa” Sekali lagi tawanya lepas.
Seandainya tidak ada perjanjian itu di antar kami, pasti aku
sudah betul-betul menyatakan perasaanku padanya. Dua puluh tahun kami
bersahabat dekat, sulit bagiku membedakan perhatian yang diberikannya padaku.
Aku memiliki dua orang sahabat dekat. Chansung dan Youngsun.
Chansung tinggal di beberapa blok dari rumahku, kami sudah bersahabat dari umur
5 tahun. Sedang Youngsun sahabatku waktu kami SMP. Dia menjadi tetangga baru ku
dan Chansung sejak saat itu. Tapi aku terlalu banyak menghabiskan waktu bersama
Chansung karena semenjak Youngsun pindah rumah dan kami juga tidak dalam kampus
yang sama susah sekali bertemu dengannya. Saat itulah aku sadar kalau aku
menyukai sahabatku ini. Tapi aku tak mau mengubah statusnya menjadi bekas
pacar, jika kami menjalin suatu hubungan. Akhirnya kami bertiga membuat janji
agar tak satupun dari kami saling menyukai. Dan ini sudah disetujui oleh
semuanya.
“Youngsun tahu soal ini?”
“Tahu, aku menelponnya. Dia bilang akan kerumah nanti malam.”
“Ah, aku heran apa sih yang disibukanya belakangan ini.”
“Pacaran”
“Geutji.. aku heran apa yang disukainya dari namaja bermata
kecil itu. Hahaa bagus juga melihat mataku benarkan?”
“Molla…~”
***
Malam ini aku dan Youngsun berbaring di halaman belakang rumahku
menatap bintang.
“Chansung bilang aku di suruh mencari pria lain dan
melupakan Minjun.”
“Dari dulu nasehatnya memang tak pernah beres, pantas saja
dia mudah gonta-ganti pacar selama ini. Jika putus cari yang baru, begitu saja
terus. Sepertinya dia tak mengerti Cinta. Jangan dengarkan dia.”
“Geurom eottokahe?”
“Kalau, aku pasti berusaha mati-matian mengejarnya. Coba
bicarakan lagi dengan ibumu.”
“Tapi masalahnya sekarang aku ternyata tak mencintainya.
Setelah kejadian ini aku sadar aku tak mencintainya. Aku merasa baik-baik saja
putus darinya. Mungkin tuhan ingin menunjukan jodohku sebenarnya. Geundae..”
“Gendae mwo??” Youngsun menatapku penasaran.
“Na Chansung chuahae.”
“Jinjja…? Hwang Chansungi-yeyo Hahaaaaha” Youngsun tertawa
lepas mendengar peryataanku seolah tak percaya. “Onje buteo huh? Sejak kapan
Chieunah.”
“Kenapa tertawa, apa ada yang lucu?” Youngsung menggeleng
dengan senyum yang dipaksa berhenti. “Sudah lama semenjak kita berjanji untuk
tak saling suka, aku menyukainya tapi aku juga tak mau persahabatan kita
hancur.”
“Seolma.. Bisa kau menyimpannya rapi seperti ini, apa
Chansung tahu?”
“Aku rasa belum.”
“Ppalie, marhae.. Aku rasa dia juga menyukaimu.”
“Mworagu?”
“Beberapa hari yang lalu, dia kami menonton film. Sama
seperti kita, berjanji tidak akan salaing suka. Tapi mendadak Chansung
mengatakan bodoh sekali dia menyetujui ucapanmu dulu. Dia bilang harusnya
perjanjian itu tak pernah ada. Dan seandainya Chieun mau mencabut perjanjian
itu.
“Heol… kojimarayo Youngsunah”
“Jinjaru.. apa untungnya berbohong. Ppalie marhaebwa..”
“Eottokhae? Buttakahe juseyo.” Aku memohon agar Youngsun mau
membantuku.
“Besok ke apartement ku, kita nonton film itu bersama. Nanti
akan ku bantu kau mengatakannya.”
“Gomawoyo Youngsunah”
***
Malam itu aku dijemput Chansung untuk bersama ke apartement
Youngsun.
“Sudah lama sekali kita tidak noton film bersama, jadi ingat
waktu SMA.” Chansung berbicara dibalik kemudinya. Malam itu aku menjadi
pendiam. Memikirkan apa yang akan ku katakana nanti, apa benar Chansung juga
mencintaiku. Aku terus mencuri pandang menatap namja di sebelahku. Tiba-tiba Chansung
menginjak rem mendadak dan hampir saja membenturkan wajahku ke dasbor mobil.
Tiinntttt……. Suara
klakson panjang.
“Ajushi hati-hati kalau menyebrang. Kau tidak lihat itu
lampu hijau!” Chansung berteriak keras. “Neo Gwaenchana? Jinjja Gwaenchanayo?”
Chansung mengecek anggota tubuhku seperti takut ada yang terluka.
“Na gwaencanayo jinjja.”
“Kencangkan Sitbelt mu, tadi kau hampir membentur. Mianhae.”
“Ani.. Na gwaenchananyo.”
Demi tuhan aku sama sekali tak bisa membedakan rasa khawatirnya
padaku. Baiklah akan kuputuskan mengungkapkannya malam ini.
Malam itu Youngsun memutar kembali film yang dia tonton
waktu itu.
“Kenapa film ini?” Chansung bertanya heran.
“Film apa?” Tanyaku.
“Aku suka film ini sama seperti kita. Mereka bersahabat
lama. Tapi karena sebuah perjanjian yang mereka buat jadi seorang tak bisa
menyatakan perasaannya pada sahabatnya. Tapi setelah mereka membatalkan
perjanjian itu, akhirnya orang itu menyatakan perasaannya terhadap sahabatnya.
Lalu mereka akhirnya bahagia menjalani hubungan yang baru lebih dari seorang
teman.” Youngsun menceritakan detail film itu.
“Ah.. pasti romantis sekali. Lucu ya kenapa kita bisa
membuat perjanjian aneh itu dulu.” Ucapku.
“Tarik saja perjanjian aneh itu kembali.” Tambah Youngsun.
“Maja, lagian itu waktu kita berumur 16 tahun. Kita belum
mengerti kan artinya cinta.” Chansung menatap kami berdua. Dia seperti ingin
mengatakan sesuatu.
“Oh jadi sekarang kau sudah mengerti artinya cinta” sindir
Youngsun membuat Chansung tersenyum malu. Apa maksud dari senyuman itu.
Ting..Tong.. Suara
bell berbunyi
Youngsun keluar mengecek siapa yang datang. Meninggalkan aku
dan Chansung di tengah adegan-adegan kiss dalam film itu. Kami berdua seakan
membisu.
“Ah… kenapa tiba-tiba panas.” Chansung mengipas-ngipas
wajahnya dengan tangan kemudian bangkit dari duduknya. “Aku yakin dia malu
melihat adegan itu bersamaku. Kenapa harus malu jika tak ada perasaan. Aku
yakin dia juga merasakan hal yang sama. “Mul?” Ucapnya menawarkan ku air. Aku
hanya menganguk.
Tak lama terdengar suara barang pecah, dan keributan. Aku
segera berlari menuju tempat suara.
“Neo Waegeurae” Youngsung mendorong Chansung, yang
sepertinya baru saja melakukan sesuatu terhadap Junho. Aku melihat Junho
kesakitan memegangi tepi bibirnya.
“Sepertinya aku datang disaat yang tidak tepat.” Junho
bicara pada Youngsun, baru segera pergi keluar.
“Oppa aniya… Oppa jankaman..” Youngsung bermaksud mencegah
dan menyusul Junho namun Chansung lebih cepat menarik tangan Youngsun.
“Geu sarami na arayo” Chansung mulai bersuara.
“Mwoga?? Huh? Apa yang kau tahu? Kau selalu saja sok tahu
jika itu menyangkut Junho. Kau itu temanku atau bukan sih? Kenapa tadi
memukulnya begitu saja.” Youngsun membentak keras.
“Na Neo Chuahae!” Chansung membalas tak kalah keras. “Sudah
lama aku mau mengatakan hal itu. Tapi kau selalu saja sibuk dengannya.
Laki-laki brengsek itu. Apa yang kau harapkan darinya, dia bahkan..”
“Gemanhae….!!” Kali ini telingaku benar-benar sakit
mendengarkan teriakan Youngsun. Tak sadar air mata pun jatuh membasahi pipiku.
Mendengar apa yang baru saja dikatakan Chansung pada Youngsun. “Tak perlu
memakinya di depanku, cukup aku bahagia bersamanya. Harusnya kau katakana semua
itu pada Chieun. Karena dia yang menyukaimu selama ini—buakan aku.” Youngsun
membanting pintu dan pergi keluar menyusul Junho.
Aku melihat Chansung mematung sejenak. Aku lihat pria itu
tampak bingung dengan ucapan Youngsun baru saja. Dia tak sadar jika dari tadi
aku berada di belakangnya. Mata kami beradu saat akhirnya dia membalikan
badannya. Tak satu katapun keluar dari mulut kami berdua. Ternyata aku salah
selama ini mengartikan semuanya. Chansung perlahan menghampiriku. Menariku
kedalam pelukannya. Dengan hangat dia mulai membelai rambutku. Dan dengan dinginya
dia berucap.
“Mianhae, Na Youngsun Chuahae.”
Sekarang aku merasa asing berada di pelukannya. Lebih baik
aku tak pernah menceritakan ini pada siapapun. Biarlah aku mencintainya dalam
diam. Maka hubungan kami akan baik-baik saja tak sedingin pelukannya saat ini.
Love never ask
permission when it comes.
And we are never know
when we will be hurt by it
-End-
Komentar
Posting Komentar