Masa Lalu itu untuk di kenang bukan di binasakan. Sekalipun itu memalukan, menyesatkan karna seburuk-buruknya masa lalu, kita gak bisa pungkiri mereka adalah bagian sejarah dalam hidup kita. Bahwa kita pernah mengalami jatuh bangun, sejarah mencatat semuanya dan membungkus dalam kotak bernama memori. Tempatkan mereka di hati sebagai reminder kita dalam melangkah kedepan. Yang baik jadikanlah kenangan indah, yang buruk jadikanlah pelajaran berharga. Seorang teman bicara, "Del, gue mampir ke blog lo dan tanpa sengaja keasikan baca yang lama-lama. Kenapa gak dihapus aja?. Lo gak takut kalau kebaca temen-temen baru?" Hmmmm masa lalu kan bukan tato yang ketika berhijrah kita harus hapus itu tato. Lagian selama kenangan-kenangan pahit bukan lah aib, selama itu juga aku tidak merasa terganggu bila di publish. Perihal teman baru, biarlah...... Aku tidak perduli dengan penilaian orang. Karena aku hidup bukan sekedar untuk membuat orang lain terkesan. Dengan membagi kis
[Youngsun]
Kenapa harus ada cinta diantara kami. Urusan ku sudah cukup
rumit, ditambah lagi masalah kedua sahabatku Chieun dan Chansung. Membuat
kepalaku mau pecah. Chansung masih berada di depan pintu apartement ku saat
ini. Sebenarnya aku tak tega melihatnya tertidur disana. Tapi aku terlanjur
marah padanya karena bersikap seperti itu dengan Junho.
“Selamat malam, security center. Bisa tolong aku, didepan
apartement 113 ada seseorang tertidur disana. Apa kalian bisa membangunkannya.
Aku sangat takut.”
“Oh, baiklah kami akan segera periksa kesana.”
“Kamsahamnida.”
Aku terpaksa menghubungi security, mana mungkin aku
membiarkanya kedinginan di luar. Setidaknya dia bisa segera pulang dan
istirahat. Aku menatap dari intercom dalam apartement. Chansung akhirnya
meminta maaf pada security dan segera pulang. Aku khawatir sekali pada Junho.
Pukulan Chansung tadi sepretinya lumayan keras, membuat pelipis bibir Junho
memar. Ah.. aku kesal sekali jika membayangkannya. Kenapa anak itu selalu saja
sok tahu soal Junho. Itulah kenapa dari awal aku tak pernah menceritakan ini
padanya. Aku juga tak habis pikir kenapa bisa serumit ini. Kenapa juga dia
harus menyukaiku, padahal aku tadi bermaksud membantu Chieu. Aku tak habis
pikir bagaimana perasaan Chieun sekarang. Ah, sudahlah harusnya aku memikirkan
kondisi Junho.
Aku bermaksud menghubunginya tapi aku sedikit ragu, aku ingat
Junho selalu bilang jangan pernah menghubunginya, kecuali dia yang
menghubungiku. Akhirnya malam itu ku urungkan niatku. Kenapa aku mudah sekali
merindukannya padahal belum sampai satu jam yang lalu kami bertemu.
***
Jaljasseoyo.. Pagi
itu Junho mengirimkan pesan menanyakan apa tidurku semalam nyenyak.
Bogoshipeoyo oppa.
Pesan yang selalu saja ku kirim saat dia menanyakanku. Aku juga heran bertemu
dengannya seperti menghirup caffeine.
Jika sehari saja tak bertemu rasanya tubuhku bisa menggigil, dan kepalaku bisa
terasa pusing.
Uri manhayo najunge,
sehabis mengantar Haru aku akan menjemputmu di kampus ya.
Oh, arasseo na kidarilke oppa :*
Aku segera bergegas ke kampus. Pagi itu Chansung tak lagi
nampak, sepertinya semalam dia sudah kembali ke rumahnya. Pagi itu aku mencari
temanku Dongmi, sepertinya aku harus absen pagi ini karena Junho mengajak
bertemu.
“Ya, Dongmiah… Jebal.” Ucapku memohon.
“Kalau sekali lagi tak masuk kau bisa tidak lulus tahu!”
“Ah,, kalau tidak lulus aku bisa mengulang smester depan,
tapi kalau aku tak bertemu Junho hari ini, aku tidak akan bisa tidur semalaman,
terus aku bisa sakit. Kalau sakit sama saja smester depan aku juga tak bisa mengulang
kan.”
“Heol.. geurae lakukan saja yang kau mau. Aku tak pernah
menang berdebat denganmu.”
“Hehee gomawoyo.. gomawo.”
Aku berterimakasih pada sahabtku
itu. Aku mengenal Dongmi sejak masuk di jurusan yang sama. Sudah tiga tahun
kami selalu bersama.
Di tengah-tengah obrolanku, Junho datang menjemputku. Dia
menyapa Dongmi, juga tak lupa membawakan sarapan untuk Dongmi dan Wooyoung.
Selalu begitu setiap kali dia meminta tolong pada temanku untuk menculikku di
tengah-tengah jam kuliah.
“Mianhae, belakangan
ini aku sering sekali mengajaknya bolos dan merepotkan kalian.” Ucap Junho pada
Dongmi dan Wooyoung.
“Gwaenchana hyung.” Wooyoung menyambut senang bekal sarapan
yang di berikan Junho.
Tiba-tiba ponsel Junho berbunyi dan dia segera menjauh dari
kami.
“Yak Youngsunah.. Oppa mu pagi-pagi begini, kalian mau
kemana? Taman hiburan saja belum buka.”
“Wooyoungah, siapa bilang mereka mau ketaman hibran. Mereka
berkencan kan di taman kanak-kanak.” Sadar akan ucapan Dongmi aku memandangnya
sinis. “Heehe Mian, Mian.” Ucapnya sadar bahwa kami tak hanya berdua disana.
“Haha Mwohae Taman kanak-kanak?” Sepertinya Wooyoung tak
sadar maksud Dongmi. Dia hanya tertawa saja sembari melahap donut. “Senang ya, kalau jadi direktur
mau datang siang ke kantor juga siapa yang akan marah. Kau beruntung sekali
Youngsun bisa menjadi pacarnya.”
Beruntung, kau hanya melihat semuanya dari luar Wooyoungah.
Seandainya kau tahu betapa rumitnya hubungan ini. Aku dan Dongmi saling
berpandangan sesaat. Setidaknya Dongmi sedikit tahu posisiku saat ini. Tak lama
Junho kembali dan berpamitan dengan Dongmi dan Wooyoung. Barulah kami pergi
meninggalkan mereka.
***
Pagi itu Junho dalam mood yang bagus sepertinya. Dia tak
berhenti tersenyum. Apalagi setelah menerima telepon yang ternyata dari wali
kelas Haru—Anaknya. Untuk Haru, aku akan menceritakannya nanti. Junho senang
sekali karena Haru sangat berprestasi di TK nya. Dia terus menceritakan anak
itu dengan atusias. Sejujurnya aku juga menyukai Haru. Dia anak yang pintar
juga cantik. Secantik Ibunya aku rasa. Kami juga sering jalan bertiga. Dia
memanggilku eonni. Sedih sekali, karena Junho mengenalkanku sebagai adik
sepupunya.
“Oppa mengejutkan sekali pagi-pagi begini.”
“10.00 Youngsunah, sudah hampir siang.” Aku mengecek jam
tanganku lalu tersenyum.
Lalu kami akhirnya sampai juga di tujuan Junho. Sebuah sorum
mobil. Ah, dia mau beli mobil baru jadi aku disuruh memberikan masukan. Saat kami
masuk dan melihat-lihat, semua staff akrab menyapa Junho. Sepertinya dia sering
kesini. Tapi bebarapa memandangku skeptis. Aku merasa tak enak, sepertinya
julukan kekasih gelap, atau apalah cocok sekali di tunjukan pada ku saat ini.
“Sekarang pilihlah.” Eh, aku kaget mendengar Junho bicara
begitu. Apa dia mau membelikan ku mobil. “Aku rasa mobil sport cocok untukmu.
Kau kan masih muda dan energic.” Dia menunjuk sebuah ferari sport berwarna
putih. Yang menjadi perhatianku adalah angka Nol yang berderet di papan
harganya.
“Oppa niga…” Ucapku terbatah.
“Nee, Seonmuli-yeyo.” Dia memotong ucapanku, dan berkata
mobil itu adalah hadiah.
“Seonmul..? Museun seonmul?” Aku bahkan tak berulang tahun
kenapa memberi hadiah mahal. “Oppa, apartement yang kau berikan saja belum lama
aku tempati. Sekarang mobil sport. Yah orang akan benar-benar memandang rendah
pada ku.”
“Oppa menang tender dengan proposal buatanmu. Kau pantas
menerimanya.” Ucapnya tersenyum.
Ah.. aku ingat bebarapa bulan lalu aku membantunya membuat
proposal pekerjaanya. Tapi aku sungguh tak bisa menerima mobil itu. Bukan tak
berhak tapi aku tak mau. Dia bilang aku pantas menerimanya. Apa selain hadiah
mahal tak ada yang pantas aku terima?. Aku kembali ke mobil meninggalkanya.
Junho berteriak memanggilku tapi tak aku hiraukan.
“Youngsunah, waeyo? Apa tak ada yang kau suka? Geurae kita
cari ke sorum lain.”
“Oppa geumanhae. Aku tak pernah menginginkan mobil.”
“Oh.. lalu apa yang kau mau? Katakana saja.”
“Jeowa Kyeorhoneun… Kyeorhoneun juseyo oppa.” Aku menatap
matanya lekat-lekat. Mungkin permintaan untuk menikahiku ini sudah ratusan kali
ku minta. Walau aku tahu jawaban Junho akan selalu sama.
“Youngsun, Mianhae..” Aku sudah hafal dengan kata-kata itu.
“Aku sama sekali tak masalah menjadi isteri simpanan mu oppa,
asal kita memiliki status. Bukan seperti sekarang.” Nada suaraku mulai
meninggi. “Apa kau tak ingin bersamaku?, apa kau tak ingin bercinta denganku. Hagh?”
Aku rasa aku sudah kerasukan. Siang itu aku mulai membuka kancing bajuku satu
demi satu dihadapan Junho sambil terus bicara melantur.
“Youngsunah, Mwohae?? Neo waegurae..” Dia mencoba menghentikan
tindakanku itu. Tapi aku terus menepis tangannya.
“Aku bisa memuaskanmu lebih darinya oppa, kenapa kau tak mau
hagh? Wae..!!” Aku terus berteriak di dalam mobil kedap suara dengan jendela
tak telihat orang itu. “Wae.. Wae.. kenapa kau bisa memberikanku segalanya tapi
tidak hatimu. Aku hanya butuh hatimu bukan hartamu.”
Aku akhirnya menangis di
pelukan Junho. Junho tamapak sangat bersalah sekali. Dia membetulkan bajuku
kembali seperti semula. Kalau ada orang bodoh di dunia ini aku rasa itu adalah
aku. Hampir tiga jam kami berdua berada di basement sorum tanpa sepatah kata.
“Youngsunah, baegophayo? Kau dari tadi belum makan.”
“Anbaegophayo.” Jawabku singkat.
“Geurom, aku akan mengantarmu pulang kalau begitu.” Aku tak
menjawab hanya Junho saja melajukan mobilnya menuju apartement ku.
“Na Coffee
hagoshipeoyo.” Ucapku mendadak di tengah perjalanan.
“Coffee? Hagoshipeo?
Jankan.. aku kan belikan untukmu.”
Junho menepikan mobilnya di tepi jalan dan lari ke seberang
jalan untuk mencarikan coffee
untukku. Pada saat itu aku keluar dan mencari taxi untuk pulang sendiri. Aku
tak perduli meninggalkan mobil mahal itu di tepi jalan. Aku memanggil taxi dan
segera pergi dari situ. Supir taxi dari tadi bertanya hendak pergi kemana aku.
Aku juga binggung. Tak mungkin mencari Chansung disaat seperti ini, apalagi ke
kampus dengan wajah berantakan begini.
“Jongno Tower.” Ucapku pada supir tersebut.
Akhirnya aku tiba di Jongno Tower, markas besar Samsung
tepat pada jam istirahat siang. Chieun sedang magang disini. Aku segera menuju
informasi mencari Chieun. Tak lama aku menunggu di loby, Chieun menemuiku.
“Waeyo?” Ucapnya heran menatapku. Pelukanku sepertinya sudah
menjadi jawaban atas pertanyaannya. “Kkaja, kita bicara dirumahku. Hari ini aku
magang setengah hari.” Aku hanya mengganguk.
***
“Kenapa kau baru cerita sekarang Youngsunah…”Chieun tampak
kesal mendengar ceritaku soal Junho.
“Tiga bulan lalu kau sedang sibuk menyiapkan pestamu dan
Minjun kan. Jadi aku juga tak mau menggangu. Lagi pula aku tahu kau pasti akan
melarangnya.”
“Tentusaja, kalau dia suami orang. Aku lebih suka melihat mu
bersama Chansung.”
“Aniya… jeoltereo Chieunah.. itu tak akan pernah terjadi.
Jadi berhenti bicara soal itu. Aku sama sekali tak punya perasaan apa-apa
padanya. Aku tak ingin kehilangan kalian berdua.”
“Arasseo nadoo.” Kami berdua berpelukan.
Kami bercerita panjang lebar hingga sore hari itu. Aku sama
sekali tak mendapatkan gangguan karena aku mematikan ponselku. Usai puas
berbagi kesedihan bersama Chieun aku akhirnya kembali pulang menuju apartement.
Aku merasa sedikit lega bisa menumpahkan semua yang kurasakan. Aku rasa
hubunganku dan sahabat-sahabatku sudah selesai. Namun aku salah, masih ada satu
lagi yang belum selasai. Chansung menariku masuk ke mobilnya dan aku berusaha
keluar tapi sia-sia dia segera masuk dan menguncinya. Apa sebenarnya yang ada
di pikiran anak ini. Hari ini kepalaku sudah sangat berat sekali ditambah lagi
dengan kelakuannya hari ini.
Aku menatap wajahnya, wajah lesu seperti manusia kehabisan
darah. Sesaat aku pun diam membiarkan dia bicara. Aku sadar Chansung masih
menggunakan baju yang yang sama. Dia pasti belum kembali kerumahnya dan
menungguku disini. Harusnya aku mendengarkan semua yang mau dia katakan. Tapi
lagi-lagi dia mengatakan hal yang sama, aku sama sekali tak perduli. Tapi
lagi-lagi dia bicara sok tahu soal Junho. Oke, kau tahu mengenainya. Tapi tak
semua yang kau tahu itu benar. Aku kembali marah padanya. Apalagi dia selalu
saja bertanya kenapa aku jatuh cinta pada Junho.
Aku sendiri tak pernah tahu kenapa aku bisa jatuh cinta pada
orang yang sering menyakitiku. Mungkin aku menderita Stockholm seberapa sering Junho melukai perasaanku, semakin aku
berambisi untuk bersamanya. Chansung juga tak bisa menjawab pertanyaanku kenapa
dia menyukaiku. Saat yang tepat untuk aku meninggalkannya. Aku keluar dari
mobil dan meninggalkannya. Tapi menggingat raut kusutnya tadi membuatku sedikit
khawatir. Aku kembali membawakannya segelas Coffee
hangat yang aku beli di café depan apartementku. Setidaknya dia bisa mendapat
sedikit tenaga saat menyetir.
“Minumlah, jangan pulang dalam keadaan mengantuk. Istirahat
kalau sudah sampai. Chansung, kau tahu aku
tak mau kehilangan sahabat terbaiku. Kau dan Chieun.” Setelah berkata begitu
aku pergi meninggalkanya. Kali ini urusanku dengan sahabat-sahabatku
benar-benar sudah selsai. Aku percaya waktu akan memulihkan semuanya.
***
“Oh, wasseo..” Dongmi yang sudah berada di dalam apartement
menyambutku. “Tadi Chansung mencarimu..”
“Uri manhasseo.” Ucapku tak bergairah.
“Odiga? Dia masih dibawah? Daebak.. dia dari tadi siang
menunggumu tahu.”
“Karna itulah tak seharusnya dia membuang waktu menunggu
wanita sepertiku.” Aku merebahkan tubuhku di sofa.
“Wae tto.. aishh setiap pulang berkencan dengannya kau
selalu saja seperti ini. Sudahlah apa susahnya menerima Chansung.”
“Kau tahu rasanya menjalin hubungan dengan sahabat sendiri
huh? Coba kau jadian dengan Wooyoung!”
“Maldo andwea naega..” Dongmi menjawab cepat.
“Geuromyeon, maldo andwea nado. Asiss…” Sesaat kami terdiam.
Aku merasa lelah sekali. “Dongmiah.. seandainya pangeran Daegumu itu tak
menolakmu..”
“Yak.. kenapa kau tiba-tiba membahas itu. Itu sudah tiga
bulan yang lalu.”
“Maja.. tepat saat aku bertemu Junho di club saat menemani
kau minum sampai mabuk, kau tak pernah tahukan cerita dibalik itu kan.”
“Jadi kalian bertemu disitu sejak pertama kali kita datang?
Waktu aku mabuk? Tapi kau mengenalkannya padaku saat hari ke tujuh? Daebak!! Pantas
kau semangat sekali saat diajak ke club itu. Jangan-jagan dia yang selalu
mengantarku pulang kalau mabuk?” Aku hanya mengganguk.
Begitulah pertemuanku dengan Junho. Disela-sela patah hati
Dongmi yang panjang itu aku bertemu dengannya. Awalnya aku sama sekali tak
tertarik padanya. Apalagi dari hari pertama bertemu yang dibicarakan hanya
hubungan dia dan isterinya yang tak harmonis. Sebenarnya aku kasian padanya. Tapi
seiringnya pertemuan kami yang kerap terjadi, perasaan itu tumbuh begitu saja.
Aku seperti ingin menjadi tempatnya bersandar, mengeluarkan semua kegalauannya.
Anehnya aku bahagia dengan itu semua. Junho orang yang baik dan jujur tak
pernah sekalipun dia berbohong mengenai dirinya bahkan sejak awal bertemu.
Bahkan soal hatinyapun dia tak bisa berbohong. Dia tak mau membahagiakannku
dengan kebohongan. Tak pernah aku menemui orang seperti ini sebelumnya.
“Youngsunah, katakana apalagi yang tidak aku tahu soal bad
boy itu huh?”
“Bad boy anieyeyo.. Jinjja. Dia orang yang baik. Bahkan terlalu
baik.”
“Iya terus saja membelanya.” Ucap Dongmi sedikit malas
mendengar kata-kataku.
“Dia bahkan menikahi isteri nya dalam keadaan sudah berbadan
dua.”
“Jinjjaaaa?” Dongmi bukan main terkejut. “Youngsunah
Jinjja.. Lee Haru sungguh bukan anak Junho? Seolma.” Aku hanya mengganguk.
“Makanya aku selalu marah jika kalian bicara dia pria buruk.
Terutama Chansung yang selalu sok tahu, padahal dia tak tahu apa-apa. Kau tahu tidak...”
“Mwoga?”
“Junho sama sekali tak pernah mau bercinta denganku. Dia
tetap menjaganya untuk wanita itu.”
“Neo… Youngsunah.. kau ini gila atau apa huh??!! Ada pria baik
yang tulus mencintaimu, tapi kau malah membuang-buang waktumu untuk pria yang
hanya memanfaatkanmu saja. Napeun namjaya, jinjja.”
“Geurom neo mwo?? Napeun yeojaga?. Kau juga memanfaatkan
Nichkhun. Lalu putus darinya, dan membuang-buang waktu hanya untuk menunggu pangeran
Daegu mu itu? Siapa namanya? Aku bahkan tak pernah melihat seperti apa rupanya.
Apa dia lebih tampan dari Nichkhun oppa.”
Dongmi tak bersuara saat mendengarku berkata begitu. “Yak..
kau marah? Mian… na geuyang..”
“Dwasseoyo.. lupakan saja, aku memang wanita buruk.” Dongmi
tiba-tiba berkata demikian. Ku sandarkan kepalaku ke bahunya. Dan hanya
mendengarkan ucapannya. “Cinta memang sesuatu yang misterius. Tak ada ilmu yang
mempelajarinya tapi kita bisa tahu dengan sendirinya. Saat kita katakan kita
tahu dan paham soal itu, tapi kenyataanya kita gagal dalam memperaktekannya.” Aku hanya mengganguk dalam hati
dan memejamkan mata. Dongmi benar, cinta memang misteri sang pemberi cinta.
Kepada siapa dia mau memberikan cintanya itu haknya. Seberapa kuat kita
memaksa, jika itu bukan hak kita maka tak akan pernah kita dapatkan.
“Dongmiah~ aku ingin sekali menderita amnesia.” Aku
menggigau dibahunya.
-End-
Komentar
Posting Komentar